Kamis, 25 Juni 2015

The Unusual Doctor

Oh ini bukan bagian challenge, saya cuma tetiba pingin mumble-rumble isi pikiran saya malam ini.
Yep, isinya adalah topik yang sering diajukan pada orang-orang pada saya.
Topik apa?

Kamu dokter, tapi kok ndak buka praktek?

Hmm... sejujurnya, saya tidak pernah bercita-cita jadi dokter.
Bisa dibilang saya adalah satu dari sedikit murid di kelas saya yang tidak memiliki cita-cita sebagai dokter.
Dan bisa dibilang saya adalah satu-satunya murid di kelas saya yang memiliki cita-cita pingin jadi astronot sejak kelas 1 SD. Alternatif cita-cita saya adalah arsitek, bukan dokter.

Lha kok bisa nyantol di FK?

Saya punya dua alasan kenapa saya masuk FK.
1. Saya ndak bisa fisika jadi amat sangat tidak mungkin saya masuk teknik.
2. Saya malas menjalani masa ospek ala teknik.

Maka, karena salah motivasi inilah, di hari saat saya daftar ulang saya pun dengan segera menyesal masuk FK. Karena,
1. Ternyata ada mata kuliah Fisika Kedokteran.
2. Teknik kan gak selalu ada fisikanya kali... (kata teman saya yang kecantol di teknik)

Lalu saat saya telepon ibu saya dan menyatakan penyesalan saya, beliau marah besar, hehe...
Yah... bisa saya bayangkan sih kenapa beliau marah besar...
-___-"

Waktu saya pada akhirnya memutuskan SPMB masuk FK, ortu saya sudah berpesan bahwa saya hanya boleh masuk FK via SPMB dan ortu saya tidak akan membiayai saya masuk ke jalur selain SPMB maupun ke univ swasta. Waktu itu saya ikut IPC (Campuran, kalau bahasa SBMPTN sekarang) dengan pilihan kedua di Ilmu Gizi dan pilihan ketiga di Psikologi.

Alhamdulillah, saya masuk ke pilihan pertama.

Cuma, kesalahan saya adalah motivasinya agak sedikit... er... aneh...

Sejujurnya (lagi), walaupun saya menghabiskan waktu 4 tahun pendidikan preklinik dan 2 tahun pendidikan profesi, saya baru 'sadar' bahwa saya akan menjadi dokter beneran pada saat saya sudah separuh jalan menuju yudisium akhir.
Sebelum-sebelumnya saya tidak terpikir sampai kesana. Saya hanya terpikir untuk kuliah, saja.

Awal tahun 2011, seorang dosen dari pendidikan preklinik saya tanpa diduga masih ingat pada saya dan menanyakan apa yang ingin saya lakukan setelah lulus.
Saat itu saya masih bingung, dan beliau lalu mulai mengenalkan saya tentang studi lanjut S2.
Hal ini disambut baik oleh orang tua saya, dan saya pun akhirnya mendaftarkan diri ke program S2 tersebut sambil nyambi lanjut program profesi di RS.

Waktu itu saya hanya berpikir bahwa Allah akan menunjukkan jalan buat saya. Jika saya diterima S2, artinya takdir saya memiliki inklinasi ke arah akademisi, bukan praktisi.


Just to let you know, saya menjalani UKDI (Ujian Kompetensi Dokter Indonesia, untuk lulus sebagai dokter) dan SAP (Seleksi Alih Program, untuk lulus sebagai maba S2) di hari yang sama. Paginya saya SAP, siangnya saya UKDI. Malamnya otak saya serasa meleleh.

Allah ternyata menginginkan saya menjadi akademisi dengan membukakan jalan saya masuk ke S2.
Yep, disitulah pertanyaan saya terjawab.


Oke sesungguhnya saya pernah kok praktek pribadi. Dan, membuka praktek pribadi ini ternyata memunculkan sisi lain dari diri saya yang lebih aneh lagi:
1. Semakin lama, saya semakin tidak tega menarik bayaran dari pasien saya
2. Rupanya saya lebih suka ada di rumah setelah pulang dari kampus, daripada keluar lagi
3. Saya tidak terlalu nyaman didatangi pasien ke rumah saya saat praktek saya tutup

Mei 2013, saya memutuskan untuk menutup (saat itu maksudnya sementara) praktek pribadi saya karena saya harus fokus mengerjakan tesis. Secara out of luck saya dapat penguji super duper killer, hiks hiks... jadi saya harus lebih siap dari orang lain.
Namun, saat saya menyelesaikan tesis saya di Agustus 2013, saya semakin tidak berminat membuka kembali praktek pribadi saya, hahaha...

Hal ini sempat dikritisi oleh sekian banyak orang. Ada yang bilang, "Iya sekarang lagi ndak butuh duit jadi ndak buka, coba nanti kalau kamu udah punya anak dan perlu duit, pasti kamu buka praktek lagi,"
Gosh, is that how shallow people look at us?
Us who studied all day and night so we will not 'accidentally' harm people when we try to help them?

Yah begitulah,
Kadang orang hanya mengasumsikan bahwa kami hanya ingin duit dari praktek kami :p
Kadang sebel juga sih, kalau kita salah sedikit, pasti dibawa-bawa ke media dan dibilang malpraktek and the gang, tapi lihatlah mereka yang sebenarnya bukan dokter tapi ngaku dokter, dan mereka justru bebas dari jeratan malpraktek, hahaha XD

Remind me again how world can be so unfair?

For your information, tidak semua dokter mata duitan.

Eh bentar, saya ndak buka praktek bukan karena saya takut malpraktek, hehe... insyaAllah semua dokter yang berniat baik untuk pasiennya pasti dituntun oleh Allah agar bisa membantu orang lain.

Alasan saya tidak buka praktek cukup simpel kok:

Saya sudah merasa cukup dengan apa yang saya punya saat ini.

Oke stop, saya tidak lahir dari keluarga kaya raya kok. Ortu saya memulai dari nol dan saya telah terbiasa hidup sebagai orang biasa. Saya tidak terlalu suka membawa-bawa status kedokteran saya dan saya masih menikmati dianggap sebagai 'orang biasa'. Saya juga tidak punya saudara dokter, kecuali sepupu saya yang masuk FK setahun setelah saya.

Mungkin karena saya dibesarkan di lingkungan seperti itu, saya tidak memiliki ambisi khusus untuk (vulgarnya) mengumpulkan materi sebanyak mungkin.

Jadi, saya sudah merasa cukup bekerja sebagai dosen.
Gaji saya saat pertama kali masuk sebagai dosen hanya seperlima dari gaji teman seangkatan saya yang kerja di UGD, hehehe... itu serius lho :D

Apakah saya tidak ingin kerja di rumah sakit?
Oh saya kerja di rumah sakit kok, di lab parakliniknya :)
Saya tidak ingin kerja sebagai dokter UGD karena saya malas jaga UGD saat hari libur (jaga UGD di hari libur adalah hal yang tidak bisa dihindari oleh semua dokter jaga UGD, jadi makin banyak libur, makin banyak jaga).
Saya ingin liburan saya tidak terganggu, jadi saya bisa ada di rumah dan berinteraksi dengan keluarga saya.

Sejujurnya, banyak teman-teman saya yang menyayangkan kenapa saya memilih menjadi akademisi karena (kata mereka) saya berbakat menjadi praktisi.
Namun, saya biasanya membalik penyayangan mereka dengan nyengir sambil bilang, "Paling ndak kan pas liburan aku bener-bener libur, ndak pake jaga, hehehe,"

Tidakkah saya takut lupa cara membuat diagnosis dan memberikan terapi?
Hehe, sepertinya tidak, karena setiap hari saya harus membimbing adik-adik mahasiswa saya dalam hal membuat diagnosis dan memberikan terapi.
Plus, meskipun kami adalah jajaran akademisi preklinik, kami masih diharuskan menguasai skill dasar ilmu kedokteran.

Apakah saya tidak pernah ketemu pasien lagi?
Hehe, seperti yang saya sebut diatas, orang-orang sudah tahu dimana rumah saya, dan mereka bisa menemukan saya di rumah walaupun plang praktek saya sudah tidak terpasang lagi.

Seiring waktu, semakin sedikit orang yang menyayangkan pilihan saya menjadi akademisi.
Bahkan lucunya, beberapa yang dulu mengkritisi saya justru mendaftarkan diri menjadi akademisi, hihihi...

Sampai sekarang, saya masih belum memiliki keinginan untuk buka praktek lagi.
Dan sepertinya kalau sudah menikah nanti saya malah makin tidak ingin buka praktek karena saya pasti akan lebih memilih ada di rumah, hehehe XD
Secara ya, jam kantor di kampus adalah jam 8 pagi sampai dengan jam 4 sore, masa saya harus keluar lagi nih?
Terus family time nya kapan? :p

Ada beberapa orang yang menganggap bahwa saya membuat pengorbanan orang tua saya menjadi sia-sia, karena memang bahkan pada masa saya kuliah, uang pangkal masuk FK sudah termasuk yang paling tinggi se-universitas.
Hal ini sudah saya bicarakan awal-awal dengan orang tua saya.
Ternyata, beliau berdua lebih mementingkan family time, sama seperti saya, dan tidak pernah memaksa saya untuk buka praktek lagi.
Ketika saya mengungkapkan pada mereka soal saya bakal makin tidak ingin praktek jika menikah nanti, beliau berdua justru tersenyum dan berkata, "Sungguh jawaban yang kamu banget,"

Saya sadar, di mata kebanyakan orang, dokter takkan sempurna jika tidak buka praktek.
Sadar kok saya... beneran...
Tapi, saya kira semua orang berhak memilih.
Yang penting konsisten dengan pilihannya kan? :)

Saya konsisten dengan pilihan saya menjadi akademisi kok...

Lagipula, saya sudah biasa dibilang 'aneh', jadi kalau sekarang saya 'nyeleneh' pun itu juga ndak aneh, hahahaha XD

Eh, ini mumble rumblenya udah banyak sekali ya? Baiklah, mari tidur, beberapa jam lagi sudah waktunya sahur :)

(selesai ditulis di hari Kamis, 25 Juni 2015, jam 8 malam)

8 komentar:

  1. Tengkiyu :) sdh diposting kmbli mklm pembacanya dh berumur kkkkk...lelet bacanya.
    Sepakat, kerja bkn hanya uang tp kebahagiaan, kykny hectic y kerja d ugd#efek lihat drama dokter2n
    Toss, dlu cita2 jg jd arsitek tp urung gegara benci mtk-fisika. Ehm tp sepertinya siennra lbh beruntung d Fk cm ktemu fis.kedokteran lah sy d tep matkulnya aplikasi mtk-fis semua :"(

    BalasHapus
  2. Hectic sih iya, tapi ada rasa bahagia yg tidak bisa sy gambarkan saat kita berhasil menyelamatkan seseorang. Bener-bener bersyukur sekali gitu rasanya :')

    Eee? TEPnya ambil jurusan apa? Kok aplikasi mtk fisika? O__O

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huum...pekerjaan mulia bgt karena berhubungan dg nyawa manusia, pasti plong bgt bs nanganin sakit orang lain he he...soalny yg ngeliat aj lega apalagi yg nyelamatin.
      Itulah cupunya sy, ambil jur engineering lah ketemu mtk teknik, mekanika fluida, thermo, elektronika en sejenisnya, pusing 7 Pala pas Julian >_<

      Hapus
    2. Iyes, memang tidak tergambarkan rasa leganya :D

      Btw, hyaaaaahhh itu mah beneran fisika buuuangeeettt!! >.<"
      Hiiii sereeemm ToT
      Etapi akhirnya dikau jadi bisa fisika kan hikmahnya :)

      Hapus
    3. Analoginya kyk minum obat gtu pahit tp sembuh kikiki..sembuh benci fis&mtk. Ternyata klo diajarin logikanya dulu fisika itu mudah cm kelirunya d skul banyakan diajarin hitungannya dulu JD pusing kpl barbie muridny :)

      Hapus
    4. ooooh gitu ya? iya sih dulu pas SMA ndak pernah diajarin kenapa kok muncul rumus kayak gitu dan kapan dipakenya rumus itu (mungkin diajarin kali ya tapi sy ndak nyambung, hahahaha XD)

      Hapus
  3. Ternyata saah jurusan ya, namun ada hikmahnya kan hehe
    Setuju, quality time bersama keluarga itu lebih penting hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya banyak yang bilang demikian -___-"
      tapi alhamdulillah banyak hikmah kok :)

      Hapus

terima kasih sudah membaca, have a good day!