Minggu, 30 November 2014

Another Day in Jakarta

Haha, Jakarta, salah satu kota penuh cerita nomor dua setelah kota favorit saya.

Kamis pagi di bandara Abd Saleh, begitu nggledek koper keluar dari mobil ayah saya terdengarlah panggilan untuk penumpang pesawat C agar segera masuk ruang tunggu.
Yah, dalam kondisi masih teler pasca mengawal salah satu event besar, saya pun kaget mendengar pengumuman dan melesat masuk untuk check in.
Begitu boarding pass sudah di tangan, barulah terpikir...
"Kan masih satu setengah jam dari jadwal berangkat, kok sudah dipanggil?"
... dan...
"Lha aku kok ndak telpun orang-orang dulu ya? Emange mereka udah pada datang?"

Dan benar saja, belum ada rombongan saya yang datang, hahaha..
f(-__-")

Lima belas menit kemudian barulah rombongan saya datang satu persatu.
Maka seat saya mencar jauuuuh dari rombongan saya.

Yang saya syukuri karena saya dpt seat 8 sedangkan rombongan saya di seat 23 :p

Ternyata, saya bersebelahan dengan suami teman SMA ibu saya. Hahaha, jadi ibu saya punya teman. Temannya nikah sama orang. Nah terus orangnya ketemu sama saya.
Oh teman ibu saya perempuan btw :p
(sungguh tatabahasa yg kacau)

Dan ternyata orang sebelah saya tadi juga kenal dengan ayah saya.

Dunia ini sempit :p

Setibanya di bandara, saya dijemput panitia acara dan memulai perjalanan ke penginapan P. Melewati suatu jalan yang ada kata Satrio-nya, kami salah ambil jalan layang sehingga bablas ke Sudirman.
Lucunya, setelah kami sudah balik kanan, kami salah ambil jalur via jalan layang lagi, hahaha :p
Well yah, sang panitia ini katanya si keburu lapar gitu.

Maka kami pun menyalakan GPS dan memulai petualangan via jalan Jerry (jalan tikus) di area Pedurenan.
Fyuh... sebuah pelajaran berharga... Sebuah jalan yang nampak besar di GPS belum tentu benar-benar besar dan sebaliknya. Maka mobil merek A kami pun harus mundur teratur kembali ke jalan yang tadi...
(merek A ini (bukan) Alphard)

Jam sudah menunjukkan lewat pukul 13.00 dan makin laparlah kita, hahaha :p

Singkatnya, setelah muter-muter Pedurenan kami akhirnya keluar ke Rasuna Said dan menemukan penginapan P (yang ternyata jalan masuknya sudah kami lewati sebanyak 3x)

Agh...

Next day, hari Jumat, saya yang mengantuk memutuskan untuk menaati terjemah 'coffee break' sebagai ngopi.
Yang saya segera sesali karena kopi yang disediakam panitia adalah tipe Arabika (eh yang asam tu Arabika apa Robusta ya? Kayaknya sih Arabika... haha lupa... pokoknya kopinya asam gitu lah),

Nah, akibat asam itulah, maka gaster saya pun protes.
Lambung saya menolak menerima tegukan ketiga dari kopi tersebut, padahal saya biasanya tawar kopi :p

Saya pun membuat mental note bahwa saya ndak akan ngopi di venue itu.

Next day hari Sabtu, saya (kalo istilah orang Jawa sih) njarak.
Sudah sadar kalau sebelumnya saya ndak tawar kopinya, hari itu saya (karena saking ngantuknya) ngambil kopi lagi, hahaha :p
Sebenarnya saya sudah nambah krimer dan gula, dan rasa asamnya sudah sangat berkurang, tapi...
.... tapi namanya asam tetep aja asam...

Maka...
Segera setelahnya saya pulang ke penginapan dan glundung glundung di kasur karena sakit perut.
Ahaha... f(-__-")
Akibat geglundungan itulah saya ndak ikut teman-teman saya yang main ke toko buku G (dan temen saya balik ke kamar bawa setumpuk buku sambil bilang, "kau sih pake minum kopi segala, tadi tu heaven banget isinya buku semua yg aku yakin kamu pasti suka!)

Oke... my fault, by all means necessary...

f(-__-")

Then last day, hari ini, Minggu adalah... hari... yang paling...
... paling...
... yah pokoknya intinya begini,
Hmm, kami sudah berkumpul di lobi penginapan P dan menunggu jemputan datang, saat saya memutuskan ke toilet dulu.
Nah...
Mungkin ini berhubungan dengan kelelahan serial sehingga saya tidak 100% tapi yang jelas saya lupa apakah saat masuk toilet tadi saya mendorong atau menarik pintunya..
Seingat saya sih, saat masuk tadi saya dorong pintu jadi logikanya saat keluar, harus saya tarik.

Dan itulah yang saya lakukan.

Dan gagal.

What the...? Sang pintu tidak mau dibuka.

Sebelum panik, saya melihat ke sekeliling dan memutuskan untuk menata napas dulu lalu mengingat-ingat apakah tadi itu pull atau push.

Seingat saya sih tadi push, maka sekarang harus pull.
Dan itulah yang saya lakukan.
Dan gagal.

Oke saya pun melihat ke sekeliling dan mendapat ide 'cemerlang': ayo manjat keluar dan bilang ke manajemen bahwa pintunya terkunci otomatis!
Dan itulah yang saya lakukan.

Setengah hati saya berharap ada kamera pengawas sehingga mereka bakal sadar bahwa ada yang mecungul dari kamar mandi (bukan dengan nada horor),
Tapi segera setelah saya memanjat hingga kepala saya bisa melihat keluar toilet, saya sadar bahwa penginapan tersebut menghargai privasi dengan tidak memasang kamera disitu.

Well, okay, what next?

Saya mengedarkan pandang ke ruang toilet lain dan semua pintu yang terbuka mengarah ke dalam, which means, tadi saya benar-benar push saat masuk sehingga saat keluar saya harus pull.

Well okay sudah saya pull dan tidak bisa maka saya memutuskan untuk tetap manjat keluar (jangan ditanya bagaimana saya bisa manjat tembok, anggap saja saya masih punya ilmu panjat pohon yang saya kuasai 20 tahun silam).
Saya segera sadar kalau space diatas kepala saya akan sangat menyulitkan jika saya nekat manjat keluar.
Saya pun juga melihat minimnya pijakan di sisi lain tembok toilet dan saya tidak bisa menahan diri untuk tidak mengira-ngira dislokasi tulang apa yang bisa terjadi jika saya salah mendarat.

Terpikir untuk teriak, tapi saya urungkan karena membebaskan diri dengan manjat tembok kedengarannya lebih keren daripada teriak minta ditolong.

Merasa perlu menyusun strategi memanjat, saya pun kembali turun dan berhadapan dengan pintu usil yang entah bagaimana mengunci sendiri itu.
Well what a lucky day saya tidak membawa serta hape saya sehingga saya tidak bisa kontak ke teman-teman.

Berdiri di depan pintu, saya mulai mengamati engsel pintu yang terlindung dengan lapisan seperti karpet.
Lapisan itu mencegah saya untuk memperkirakan ke arah mana pintu harus dibuka.
Sambil garuk- garuk kepala saya pun berpikir apa yang bakal terjadi jika pintu ini saya dorong, bukan saya tarik seperti tadi.

Maka dengan semangat kepo, saya menggunakan telunjuk saya untuk mendorong pintu dengan perlahan, seakan saya tidak mau memphp diri saya sendiri....

... dan pintu toilet pun terbuka...

... saya melongo...

... uapaaaa???!!

Beberapa milidetik berikutnya, teman saya masuk ke ruangan tersebut dan berkata, "ayo cepetan, jemputan udah datang tuh!"

Dengan senyum inosen saya, saya pun minta maaf dan segera keluar dari toilet untuk bergabung dengan teman-teman saya.
Saat saya menceritakan hal tersebut pada teman-teman saya, semuanya ngakak.

Oke, petualangan saya yang terakhir kali ini di Jakarta adalah saat saya menuju bandara H dengan diantar oleh panitia.
Nah, berhubung panitia dan saya sama-sama capek, entah kenapa kami bablas masuk ke jalan layang (padahal harusnya ndak) dan nyasar ke Jatinegara. Bzzzt... bzzztt...

Syukurlah saya ndak ketinggalan pesawat :'(
Tapi dapat seat no 31, alias pualing buelakang, hahaha :p
Saat saya keluar untuk ambil bagasi, koper saya ngorok sendirian di roda yang sudah berhenti, hahahaha :p

Moreso, itulah yang saya alami di Jakarta, dan ohya, syukurlah saya sempat dapat doorprize di akhir acara, walaupun belum saya buka tuh kerdus hadiahnya karena saya sudah ngantuk berat.
Yah mungkin besok pagi.
For now... hmmm... so very sleepy...
Jadi sebaiknya saya tidur, apalagi besok pagi ada upacara jam 7 pagi.

See you again, Jakarta. Keep the memories with you :)

(Malang, 30 November 2014, 23.54)

Jumat, 21 November 2014

Selamat Datang Kembali

Well it is such a troublesome November.

Belum 100 jam setelah Work and Weekend saya posting, sesuatu yang berbeda (baca; sangat berbeda) justru terjadi.

*

Okay sebagai starter, saya menemukan gentamisin milik saya, yang notabene amat sangat saya perlukan dalam penelitian saya. Si genta ini sudah menghilang selama beberapa minggu dan saya sudah memutuskan untuk menghentikan pencarian karena cuaca kurang mendukung...
... uhuk... karena saya sudah lelah mencarinya.

Dan ternyata si genta ini duduk manis nicely tucked like so very safe and sound di ceruk pintu kulkas bahan.

Dan si genta ini menghadap ke depan, yang seharusnya (baca: SEHARUSNYA) akan langsung terlihat begitu kulkas dibuka.

*

Argh, okay, begitulah, saat otak jadi tumpul, maka t-rex di pelupuk mata pun tak nampak...
(bayangkanlah seberapa gede matanya).
Singkat cerita, saya berangkat dari Lab menuju Pasca untuk mempersiapkan kuliah tamu dengan gembira dan penuh semangat (sesuatu yang sudah selama sebulan terakhir nyaris hilang dari keseharian saya bersama Mbah Deadline)

*

Jadi... ... menjelang kuliah tamu terjadi kehebohan soal moderator, karena moderator yang sudah terpilih entah bagaimana ingin undur diri.
Strictly speaking, sebagai rakyat jelata yang membantu sebuah acara di program studi, normally saya tidak akan terlalu memperhatikan siapa moderatornya. Tugas saya sebagai petugas multimedia tidak menaruh 'perhatikan moderator' dalam tupoksi, tapi 'perhatikan speaker'.

Tapi saya melanggar tupoksi saya dan memperhatikan gerak gerik sang moderator.

Kenapa? Tentunya karena moderator saya ini spesial buat saya (wadaw, ada yang ngelempar sepatu) karena beliau adalah mantan penguji saya.
Well, lebih tepatnya nyaris menjadi penguji, karena saya berhasil meraih nilai cukup untuk bebas ujian akhir dan tidak bertemu dengan beliau di kursi panas. Sekilas terkenang upaya saya untuk membebaskan diri dari ujian karena saya amat sangat SANGAT khawatir dengan nilai ujian saya. Saya hampir yakin bahwa saya tidak akan lulus jika saya tidak bisa membebaskan diri dari ujian akhir.

Well I made it alive, sodara-sodara. Worth a fight banget endingnya di tahun 2013.

Maka kuliah tamu pun berjalan lancar, saya berhasil mengawal multimedia dan terutama kelancaran presentasi speaker selama acara berlangsung.
(Oke, sejak dulu saya 'dipercaya' punya skill khusus soal pengawalan yang satu ini dan saya selalu enjoy menjadi pengawal)

Begitu kuliah tamu selesai, saya memasang diri untuk dihujani permintaan mahasiswa yang ngopi kuliah. maka saya menyodorkan laptop untuk mereka isi dengan alamat email mereka sementara saya kukut-kukut peralatan lainnya.
And then that was the moment of truth saat mantan penguji saya mendatangi saya dan menghujani dengan sejumlah besar pertanyaan bernada ketidakpuasan beliau atas kuliah hari itu.

Saya (yang notabene bukan orang yang bertanggung jawab penuh atas hal tersebut) pastinya memiliki dua opsi: diam ketika disalahkan atau mengklarifikasi dengan sopan.

Santai saja, saya lakukan yang kedua kok.
Well at least I was trying to do the second choice, until it got in my nerves so hard and I... uh... kind of... change into offensive mode.
Haha... mungkin saya masih sakit hati atas perlakuan beliau di masa lalu, mungkin saya sudah dalam kondisi terlalu lelah, mungkin sederhananya saya tidak suka disalahkan atas sesuatu yang tidak saya lakukan, atau mungkin ketiga-tiganya benar...
Tapi ya itulah, I shot back the fire thrown at me.

Dan terjadilah sinetron.
Padahal saya pinginnya jadi serial laga.
#eh

*

Kemudian saya kembali ke Lab dan beberapa orang langsung menanyai saya, "Udah selesai nih perangnya?" dan membuat saya ketawa ngakak. Terakhir kali saya membela diri saat disalahkan pada saat saya masih berstatus koas di sebuah rumah sakit, nilai akhir saya kena diskon.
Tapi saya bukan lagi mahasiswa. Saya berdiri di tempat yang sama dengan mereka.

*

Yah begitulah,
Event selanjutnya yang saya alami adalah badai mahasiswa yang mencari saya untuk konsultasi. Yep, bukan hanya kami yang dikerjain sama Mbak Deadline, tapi juga mahasiswa.
Yang mengejutkan, justru saya malah banyak tertawa dan tertawa bersama mereka. Bahkan kami sempat membahas perbedaan umur diantara kami yang sebenarnya tidak begitu jauh.

Membimbing penelitian mereka tanpa diduga memberikan efek positif pada saya. Pada dasarnya saya adalah orang yang sangat kepo, jadi penelitian adalah sesuatu yang sangat saya sukai, karena saat meneliti, saya bebas mengaplikasikan kekepoan saya sampai di tahap manapun.
Dengan meneliti juga, saya memperluas cakrawala kepo saya menjadi lebih dan lebih lebar lagi.

*

Kegiatan pun lalu berlanjut dengan kuliah di siang hari pada hari Jumat. Saat masuk kelas, saya sudah mendeklarasikan bahwa saya tidak akan melarang mereka tertidur karena anginnya sangat semilir. Maklum kelas tersebut semi-outdoor, jadi angin semilir di siang yang panas tidak akan terhalang oleh apapun untuk membelai benak-benak yang lelah.

Saya sebenarnya tidak punya tips apapun dalam menghadapi kelas di siang hari seperti itu, jadi ya saya jujur saja mengatakan bahwa mereka bebas untuk tidur dengan tambahan 'tapi saya akan sangat bersyukur jika kalian mau meluangkan waktu untuk mendengarkan saya sebentar saja'

Dan di akhir sesi tersebut, sembilan dari delapan puluh orang mengacungkan jari untuk bertanya, padahal jam sudah menunjukkan pukul tiga sore.

Guess I did a good job then :)

*

Setelah kuliah tersebut, saya pun berjalan (sempat kesandung) menuju Plue sambil tersenyam-senyum. Ada suatu rasa puas tersendiri yang sudah lama tidak saya rasakan karena pressure yang saya alami. Sejujurnya, saya menikmati berdiri di depan kelas seperti itu karena pada saat itulah juga saya bisa menularkan kekepoan saya pada semua yang hadir.
Hahaha, tidak selalu berhasil sih, tapi cukup membuat suasana lebih tidak seperti kuburan saat kuliah berlangsung :p

Bersama Plue, saya pun menempuh perjalanan pulang. Saat sadar, saya sudah karaokean di dalam Plue dan saya pun tertawa (sendirian).
Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya pulang dengan perasaan seperti itu. Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya pulang sambil karaokean seperti itu.
So i giggled along the road for the sake of weirdness. THIS IS MY OLD UNRESTRAINED SELF.

Saya menyimpulkan bahwa jika ada hal yang paling memberikan kekuatan pada saya, maka hal itu adalah kebebasan.
Bukan kebebasan sebebas-bebasnya, tapi bebas menggunakan potensi saya seperti yang saya inginkan, bebas berdiri di atas kaki saya sendiri tanpa terjebak keharusan tunduk pada sesuatu yang bertentangan dengan saya dan... bebas kepo semau saya.

Hari ini, saya mengucapkan selamat datang kembali pada diri saya yang sebenarnya, diri saya yang bebas berpikir semau saya, bebas mengeksplorasi potensi diri saya sendiri dan mengaplikasikannya sesuai yang saya inginkan (... ... dalam batas normal, tentunya).

Saya mungkin masih bukan siapa-siapa, tapi semua orang juga mulainya dari situ kan? Kalau seseorang sudah di puncak maka ia tidak punya jalan lain kecuali diam atau kembali turun ke bawah.

Life is interesting again once I get hold of my own self again. Once again, I'll do my best once again. If I ever fail again, I will get back up and try again. If I ever cry again, I will accept my sadness and wipe my tears again. If I ever fear again, I will accept the fear and learn to overcome it again.

This is my life, this is my magic.

*

Rabu, 19 November 2014

Work and Weekend

Being an originally morning person, this head works best in very early morning. Most of my leftover works are done by the time sun rises.
My family often says that my head reaches the sharpest edge 15 minutes after I wake up in the morning. I guess it is the compensation of not being accustomed to stay up too late (except for a VERY few reasons). Days when I have duty to prepare breakfast usually ends up with me waking up even earlier.
Inability to wake up early is an initial cue that my life rhythm is being disrupted.

Another thing to consider is my willingness to work hard to the bone during the weekdays. Not that I am saying I am the most hard-working person out there but I do take my responsibility with dead-serious dedication.
My fuel runs down by the end of Friday. As the Friday sun sets, my loco needs recuperation time, which means a nearly-absolute need of undisturbed weekend with my head out of things you define as ‘work’. It also means as undisturbed weekend I can use to explore my other side of life such as quality times with my family, playing around with my friends, or maybe just an undisturbed time between me and my favorite games.
A disturbed weekend means that I will lose some of my ability to do my best in the following weekdays because my fuel is not full enough to tackle all the obstacles. Which is completely terrible for me.
In summary, I work hard, I play hard.

I do well under pressure. I do well with expectations. High one. People can expect me to take high performance responsibilities because I am confident enough with my willingness to learn and upbeat work-drive to complete my tasks under almost all circumstances.
Note that this only applies with my loco being recharged every week.

See where I am talking?
Sure I do not mind if people texts or calls me in weekend, but I cannot repress my urge to turn my phone into airplane mode if those text and call are all about work.
Come on, it is weekend! We are all human and we need recuperation. Can’t some hard workers get their undisturbed time for two days?

Fine, this happened quite frequently these weeks, which means I work under pressure and high expectation for too long. Way to long. Three months with disturbed weekends. The result is ultimate slow disruption of my own rhythm due to excessive tiredness.
Sure I know that everyone is furious to complete their projects because time is running so fast to the end of the year. I cannot blame the situation. I guess this happens because I miscalculated my own ability to stand too long in impression of she-can-do-anything-smoothly. This year I certainly multitask way too much for my own sake.
For weeks, I gradually lose my sharpness and continuously need to stop my work pace every now and then. Prolonged work is undeniable.
Rebellion sounds sweet. Not that I want to. Rephrase, not that I want to spend my energy in rebellion.

I gradually lose my ability to wake up early like I used to be. I did try to maintain my rhythm but slowly I have to surrender to my own tiredness. Especially after some ruined weekends. I almost do not have any fuels left to think sharp and crisp.

Well I did not write this post to blame nor criticize some leaders out there, but I do make a mental note to be a leader that will not disturb their team members’ weekend. For the very least.
I think the root of these deadlines is sloppy time management of both me and the leaders. Like I have said, I miscalculated my own ability. You can say that I overestimated myself. Yes, I did.
I should have seen this time coming. Now that I am already inside this spinning world of everything-is-deadline, I have no choice but to move along and keep doing my task.

As for the leaders, well, I do understand completely that they are far more busier than me, aren’t they? Or they aren’t, are they? Well, whatever, I will not try to badmouth anyone here, because I DO ENJOY BEING THEIR TEAM MEMBER, but I do hope I can do better in future if I have to step up as leaders.
Do not get me wrong, I do not like being in too much spotlights. I enjoy being someone pulling strings from behind the stage. I am confident with my leadership skill, but I do not have that high ambition to become leader.

Leaders supposed to be the most tired person. Responsible leaders, I mean. Though maybe not physically tired. Leaders supposed to be the one with concept and has responsibility to guide (guide, I said, guide) their team to achieve success.
Not that I am trying to say my leaders are bad. They are great leaders, great skills, and great achievement history. It is just that everyone is being chased with a demonic angel by the name of deadline.

Well, let’s just let it go for now. I already feel better when I am writing this down. After this, I just simply have to do my best again. What do you expect? Me saying to my leaders that I am no longer able to finish my task?
Nuh-huh, I will complete this year smoothly. I mean as smooth as I can manage, because leaving work unfinished leaves a really bad taste on my tongue.
Besides, this life is easy to follow. Whenever it gives you difficult times, it supplies you with growing ability to overcome it.

So what is my reason in writing this in a first place? To have some written talk with myself about this difficult time so I will never forget it.
Why English? Because it grasps my emotion a lot more beautiful than my own language. Face it, it is the truth. No worries, I do love my country.


Thanks for reading and I do hope you have a good time.

Senin, 10 November 2014

10 November 2014

I will remember today,
As the day when I jumped higher than the spectacle,
As the day when I finally opened the closed door,

Today I let the real me overcome what I thought I could never overcome,

May Allah continue this story and make a new happy ending for stars of the galaxy.

13.53. With Plue.

Selasa, 04 November 2014

Grant me Courage

I pray to Allah to give me the strength to overcome my fear,
to break down the chain which prevents me to set myself free,
to unfreeze my tongue so I can speak clearly,
to hold myself steady when I am about to break,

Because this kind of fear is just too high to overcome,
yet the future needs me to be brave enough and jump,
because I cannot turn back, nor wander too long,

Because everything happens from one dot, and returns back to the same dot,

I pray to Allah to help me see clearly between the lines, and grant me the courage for every single step I have to make...

...once again. I would like to try, once again.

Senin, 03 November 2014

Flashback

Kadang,

Kangen sama mereka.
Kangen cara mereka (maksa) membuat saya ketawa lagi.
Kangen cara mereka knocking in some sense in my head.
Kangen cara mereka melihat kenyataan dengan cara yang aneh, tapi benar.

Dulu kami bertengkar, rame, kadang saling menyalahkan, kadang melewati batas bercanda dan bertengkar beneran.
Tapi karena mereka ada, saya baik-baik saja saat saya pikir saya akan kenapa-kenapa.

Ne, ano toki wa hontoo ni samishi deshita. Dakedo, kono hito tachi ga itta ra, atashi wa daijoubu datta. Kono hito tachi no okage de.