Sabtu, 31 Agustus 2013

Aku Pernah Dibully

Sejenak setelah re-run 35 Years Old High School Student, saya jadi ingat bahwa hal yang serupa juga pernah terjadi pada saya. Walaupun tingkat keparahannya sama-sekali tidak sebanding dengan yang saya lihat di drama tersebut sih...

Pembullyan nampak sangat memprihatinkan bagi sebagian besar orang. Mereka yang menonton sinetron atau drama pembullyan akan berkeluh kasihan dan berkaca-kaca, disertai hati mereka yang mencelos. Tapi segala perasaan itu takkan sebanding dengan apa yang dialami oleh korban bully.

Saya mungkin tampil sebagai orang yang ketawa-ketiwi ngalor-ngidul, bersikap enteng dan agak tidak pedulian. Orang mungkin melihat saya sebagai orang yang selalu beruntung dan tidak pernah susah.

Maka, bacalah tulisan ini.

Kamis, 15 Agustus 2013

The Bartimaeus Trilogy - Review - Novel Favorit Saya

Salah satu hobi saya adalah tenggelam di balik novel, jujur saja. Novel-novel pilihan saya adalah novel fantasi yang memuat cerita tentang alternate universe dan berhubungan dengan magic alias sihir. Hehehe…

Sejak kecil, saya memiliki ketertarikan khusus pada cerita-cerita  yang mengedepankan adanya unsur sihir-menyihir, sebut saja koleksi saya ketika kecil adalah benda-benda yang saya yakini sebagai topi kerucut penyihir dan jubah penyihir *nyengir*. Bagi saya, seru aja sih, memiliki kemampuan magis (tolong jangan dibayangkan sebagai sihir tradisional yang bercat hitam macam santet dan sebagainya yak…), bisa terbang di udara dengan naik sapu terbang dan sebagainya *nyengir lagi*

Jadi jangan heran kalau koleksi novel saya 98% akan memiliki korelasi terhadap sesuatu yang magikal dalam ceritanya…

Oh ya, just to let you know, saya bukan penikmat Harry Potter. Saya sempat baca sampai dengan novel keempatnya lalu mandeg. Kenapa? Terlalu dipanjang-panjangin, saya jadi bosan, belum lagi biaya yang luar biasa besar untuk beli satu novel Harry Potter yang bisa saya pake beli novel serupa yang tidak kalah seru atau bahkan lebih seru *ups, ini pendapat pribadi lho*

---

Novel ini adalah seri novel pertama yang saya punya, dan kalau boleh dikatakan, merupakan salah satu novel tertua yang saya punya. Judulnya adalah The Bartimaeus Trilogy, karangan Jonathan Stroud, yang diterbitkan di Indonesia pada tahun 2007. Novel ini menjadi satu-satunya novel yang bisa membuat saya harus menahan rasa pingin jejingkrakan di toko buku saat rilis, dan juga merupakan satu-satunya novel dengan ending (di jilid ketiga) yang bisa membuat saya banjir air mata dan merasa mencelos saat membacanya. 

Btw, dalam cerita magis kali ini, diceritakan bahwa penyihir sebenarnya tidak memiliki kekuatan sama sekali, tapi melaksanakan sihirnya melalui bantuan makhluk halus yang secara umum disebut demon. Penyihir harus mengikat demon yang dipanggilnya (summon) dalam pentakel yang melindunginya dari kekuatan mahabesar yang dimiliki si demon

Kekuatan penyihir dinilai dari seberapa banyak dan seberapa besar kekuatan entitas yang ia panggil. Semakin lama demon terikat di Bumi, ia akan semakin kesakitan dan mendekati kematian, karena itulah setiap demon menganggap pemanggilannya ke dunia adalah perbudakan. Namun mereka tidak kuasa melawan penyihir, yang walaupun tidak berkekuatan, tapi dapat menaklukkan mereka dengan sejumlah mantra. 

Satu-satunya yang dapat melindungi demon dari siksa sang master adalah pengetahuan mereka terhadap nama lahir dari penyihir (yang biasanya disembunyikan oleh penyihir bersangkutan). 

Yah, kira-kira begitulah sebagai prolognya.


Buku Pertama: The Amulet of Samarkand.

Buku ini bercerita tentang keinginan seorang murid penyihir bernama lahir Nathaniel untuk diakui oleh komunitas penyihir. Setelah dibuang oleh orang tuanya, Nathaniel menjalani hidup sebagai apprentice dari seorang penyihir senior bernama Arthur Underwood. Nathaniel terlibat insiden ‘kecil’ dengan seorang penyihir berpengaruh bernama Simon Lovelace dan ia pun berniat balas dendam pada Lovelace.

Yah, sebenarnya, karena Nathaniel masih bocah, ia hanya berniat sedikit usil dengan mencuri salah satu artefak berharga milik Lovelace, yaitu Amulet Samarkand dengan cara memanggil jin bernama asli Bartimaeus sebagai budaknya.

Dengan julukan Sakhr-Al-Jinni, Bartimaeus merupakan salah satu jin kuno berusia 5000 tahun yang terkenal akan kepiawaiannya terhindar dari berbagai macam ‘nasib buruk’ dan (kasih bold italic underline nih!) kepiawaiannya memuntahkan sejuta macam usaha untuk membuat sebal siapapun yang pernah bertemu dengannya, termasuk Nathaniel. 

Seakan belum cukup buruk berurusan dengan jin super cerewet ini, Bartimaeus tanpa sengaja mengetahui nama lahir sang penyihir muda (pemanggilan jin tidak disertai dengan perkenalan antara jin dan penyihir, apalagi tuker-tukeran nama dan nomor hape :p) dan menggunakan nama tersebut sebagai pembalik mantra Nathaniel sehingga Nathaniel tidak bisa menghukum Bartimaeus yang super slengek’an dengan cara apapun.

Lucu ya sejauh ini? Yah memang sih, selera humor Bartimaeus yang sarkastik tapi fresh akan membuat novel ini jadi ringan. Tapi masalahnya, Nathaniel (dan Bartimaeus, pada awalnya) tidak menduga bahwa ada rahasia besar yang terkandung di balik Amulet Samarkand. Akibatnya? Sang penyihir muda dan jinnya pun terlibat dalam arus peperangan makhluk halus, nyaris dibunuh oleh kelompok pemberontak pemerintahan (Resistance) dan terjebak kejar-kejaran dengan pembunuh haus darah.


Buku Kedua: The Golem’s Eye
Buku ini bercerita tentang kehidupan Nathaniel, yang kini berganti nama menjadi John Mandrake, sebagai bagian dari pemerintahan Inggris. Dalam usianya yang masih belia, ia telah menjadi apprentice yang bersinar dari salah satu menteri paling berpengaruh di pemerintahan, Jessica Whitwell. 

Dalam kegemilangannya, karir Mandrake terjegal kegiatan Resistance. Akhirnya, bertentangan dengan sumpahnya, ia terpaksa memanggil kembali Bartimaeus, lengkap satu set dengan sejuta sifat buruknya. Berita ‘baik’nya, belum selesai dengan urusan Resistance, Mandrake kembali terjegal oleh kemunculan Golem di kota London.

Mandrake dan Bartimaeus pun kembali bersinggungan jalan dengan Kitty Jones, pemimpin Resistance yang juga merupakan salah satu dari sedikit anggota Resistance yang selamat setelah merampok makam Gladstone (penyihir terpenting dalam sejarah Inggris). Kitty telah mencuri Tongkat Gladstone dan tanpa sengaja melepaskan afrit (ifrit, kalau bahasa Inggrisnya) Honorius ke dunia bebas.

Ketamakan Mandrake atas kekuasaan dan sifat paranoidnya yang tumbuh pesat membuat Bartimaeus merasa (kalau bahasa Bartimaeus sih) jijik. Mandrake dan Kitty juga terlibat ‘baku hantam’, baik secara harfiah maupun tidak, segera setelah Mandrake menemukan gadis tersebut. 

Mandrake pun akhirnya terjebak dalam situasi hidup dan mati saat ia dikejar-kejar Honorius, gagal mengendalikan Tongkat Gladstone dan berada dalam belas kasihan sang Golem. Siapakah yang pada akhirnya menyelamatkan Mandrake? Sampai pada batas manakah loyalitas Bartimaeus sebagai budak Mandrake, dan sampai batas manakah kekeraskepalaan Kitty dapat dipertaruhkan?


Buku Ketiga: Ptolemy’s Gate
Buku ini bercerita tentang masa lalu Bartimaeus, pencarian jati diri Mandrake dan keinginan terselubung Kitty. Mandrake yang paranoid karena pengetahuan Bartimaeus terhadap nama lahirnya, memaksa sang jin menjadi budaknya selama dua tahun tanpa diberi kesempatan beristirahat. Karir Mandrake yang melesat cepat merupakan hasil ‘pengorbanan’ Bartimaeus yang tiada henti. 

Kekuatan Mandrake yang semakin besar memberikan sang penyihir kemampuan untuk memanggil banyak jin berkekuatan besar secara bersamaan dan menghilangkan hak prerogatif Bartimaeus sebagai satu-satunya jin milik Mandrake (baca: Bartimaeus jadi kehilangan nyaris semua kesempatan berekspresi dengan selera humornya yang mengguncang langit). 

Sementara itu, Kitty yang menyadari kebutaannya terhadap sihir, melakukan riset terhadap sihir dan menemukan bukti tentang masa lalu Bartimaeus serta hubungan sang jin dengan penyihir Mesir yang hingga kini masih memiliki hati sang jin, Ptolemy.

Setelah insiden dimana Bartimaeus nyaris tewas, Mandrake memutuskan untuk membebaskan Bartimaeus. Namun dengan segera ia menemukan bahwa sang jin dipanggil oleh ‘penyihir lain’ dan tidak merespon pemanggilannya. Hampir disaat bersamaan, Mandrake bertemu kembali dengan Kitty dan kembali terlibat pertengkaran sengit dengan mantan pemimpin Resistance tersebut.

Masih dibutakan oleh kehausan atas kekuasaan dan paranoia tingkat tinggi, Mandrake kembali mengirim Bartimaeus menuju misi berbahaya segera setelah sang jin dapat ia kuasai kembali, tanpa memerdulikan ‘kesehatan’ Bartimaeus. Namun, sepeninggal sang jin tukang gosip itu, Mandrake dan Kitty justru terlibat pemberontakan demon terbesar sepanjang sejarah. 

Tanpa perlindungan Bartimaeus dan di tengah-tengah pembantaian besar-besaran yang dilakukan demon terhadap manusia, mampukah Mandrake bertahan hidup? Dan sekali lagi, sampai dimanakah kekerasan hati Kitty  bertahan saat para penyihir yang dibencinya kini mati satu demi satu di depan matanya? Dan saat Bartimaeus pada akhirnya memiliki kebebasan untuk memilih lagi setelah 2000 tahun berlalu, maukah dia kembali untuk menyelamatkan ‘Nathaniel’ yang telah dibencinya selama bertahun-tahun? 

Terakhir, adakah master yang akhirnya dapat menyamai rasa cinta Bartimaeus terhadap Ptolemy? Jawabannya… ah, ini lho, tisu…


Spin-off: The Ring of Solomon
Buku ini bercerita tentang kehidupan Bartimaeus, jin berusia 2000 tahun pemilik ejekan terbanyak di seluruh dunia. Gara-gara melakukan kesalahan ‘kecil’ (baca: menelan masternya hidup-hidup), Bartimaeus kini menjadi budak dari Khaba, salah satu penyihir berbahaya kepercayaan Solomon, sang raja Jerusalem. 

Pada saat itu, daratan Arabia dikuasai oleh Solomon dengan bantuan Cincin magis yang mampu menjadi portal yang memungkinkan Solomon memanggil sebanyak mungkin demon ke muka bumi. Arabia pun mematuhi Solomon karena campuran rasa takut dan kekaguman.

Setelah nyaris tanpa sengaja melempar batu berukuran raksasa ke kepala Solomon, Bartimaeus dan kompi jinnya kini dikirim untuk menangani pembantaian di jalur perdagangan Jerusalem. Sang jin pun akhirnya bertemu dengan Asmira, satu-satunya yang selamat dari pembantaian. 

Menyembunyikan niat aslinya, Asmira berhasil membujuk Khaba untuk membebaskan Bartimaeus sebagai balasan atas nyawanya yang diselamatkan sang jin. Namun dengan segera, Asmira menyadari bahwa Khaba berkhianat dan ia pun ‘merebut’ Bartimaeus untuk dipekerjakannya sendiri. Tugas pertama Asmira untuk Bartimaeus adalah: membunuh Solomon dan merebut Cincin Solomon untuk dibawa ke Ratu Sheba.

Walaupun memiliki karir tak terpatahkan selama 2000 tahun, Bartimaeus harus terlibat kucing-kucingan dengan puluhan demon berkekuatan besar yang menjadi pelindung Solomon sambil melindungi Asmira. Dalam sekejap, Jerusalem menjadi tempat pertempuran untuk memperebutkan Cincin Solomon. Tapi adakah yang cukup jeli untuk mengetahui kenyataan tentang Solomon sendiri?

---

Kelebihan dari cerita ini berasal dari personalisasi tokoh-tokoh sentralnya yang unik, yaitu Bartimaeus, Nathaniel (John Mandrake), Kitty Jones, juga Asmira, kalau mau melihat spin-off-nya. Nih sedikit review tentang betapa bertentangannya mereka:


Bartimaeus
Bartimaeus adalah jin yang mengalami masa jaya pada 2000 tahun sebelum dipanggil oleh Nathaniel. Ia adalah jin tingkat menengah dengan sejuta keberuntungan, yang menyebabkan dia selalu mampu berkelit dalam situasi berbahaya dan masih hidup hingga 5000 tahun lamanya.

Kelebihan utama (atau kelemahan?) Bartimaeus ada pada kemampuannya untuk membuat semua orang sebal terhadapnya. Ia memiliki persediaan ejekan yang tiada habis, dan tidak terlalu memperdulikan hukuman yang diterimanya dari penyihir akibat lidahnya yang tak bertulang (kalau dia punya lidah sih). Kelebihan utamanya ini sebenarnya ditunjang dengan kecerdasannya yang (kalau saya boleh menyimpulkan) sangat tinggi dibandingkan demon lainnya. Bartimaeus menggunakan kecerdasannya ini untuk mengakali siapa saja, menyabet kesempatan apa saja dan melenggang santai setelahnya (aduh… ketularan gaya bahasa Bartimaeus ini sepertinya, maafkan… ).

Namun demikian, Bartimaeus memiliki sisi lembut yang hanya ditunjukkan pada Ptolemy. Loyalitas Bartimaeus terhadap Ptolemy adalah yang tertinggi, sampai ke taraf kesediaan Bartimaeus mengorbankan diri untuk sang penyihir. Alasannya? Ada tuh di Ptolemy’s Gate ^^

Bartimaeus ini memiliki banyak nama, misalkan Sakhr-Al-Jinni, N’gorso, dan yang spesial untuknya adalah Rekhyt, nama yang diberikan Ptolemy. Selain Ptolemy, Bartimaeus menganggap rendah manusia dan terutama, pernyihir. Ia tanpa sengaja mengetahui nama lahir Mandrake, yaitu Nathaniel, dan ini (sedikit) menyejajarkannya dengan sang penyihir muda. Bartimaeus membenci Nathaniel, seperti halnya ia membenci penyihir lainnya, dan selalu mencari kesempatan untuk menjatuhkan sang master.


Nathaniel (John Mandrake)
Sebagian besar buku pertama akan menyebutkan Nathaniel, sebagian besar buku kedua akan menyebutkan Mandrake, dan buku ketiga membagi keduanya nyaris hampir sama. Nathaniel memiliki masa kecil yang menyedihkan, dimana ia dijual oleh kedua orang tuanya karena alasan ekonomi. Ia tumbuh menjadi bocah tertutup dan tidak pernah bergaul dengan sesamanya.

Nathaniel memiliki kehausan luar biasa terhadap ilmu pengetahuan, dan hal ini ditunjang dengan otaknya yang encer. Namun demikian, master penyihirnya yang skeptis tidak mengakui kehebatan Nathaniel dan hal tersebut membuat sang bocah frustasi. Puncak rasa frustasi Nathaniel tumpah menjadi pemanggilan terhadap Bartimaeus dan pencurian Amulet Samarkand, yang membuka cerita trilogi ini.

Dengan menggunakan nama John Mandrake, Nathaniel mengunci diri aslinya yang rapuh dan kesepian. Setelah lepas dari master pertamanya, ia tumbuh menjadi remaja jenius yang disegani di kalangan penyihir. Mandrake menjadi kesayangan Perdana Menteri dan dengan mudah mengungguli orang-orang yang meremehkannya di masa lalu.

Namun, seperti halnya remaja lainnya, Mandrake terus terhubung dengan keinginannya untuk mencari tempat yang terbaik untuknya. Ia ingin aman, ingin diakui  serta ingin berkuasa, dan efek sampingnya ia menjadi paranoid.

Mandrake membenci Bartimaeus, namun mengakui bahwa jin tersebut merupakan jin paling efektif yang pernah ia miliki, dan juga satu-satunya jin yang mengetahui nama lahirnya, sehingga ia selalu mempergunakan Bartimaeus dengan sangat hati-hati. Sedangkan hubungan Mandrake dan Kitty, hmm… seperti simbiosis parasitisme. Mandrake sangat memandang rendah Kitty, dan didukung dengan kekalahan-kekalahan telaknya melawan sang pemimpin Resistance, ia pun juga membenci Kitty.  

Sedikit kontras dengan kebencian demi kebencian yang menumpuk dalam hati Mandrake, ia merupakan remaja cerdas dengan tingkat kepercayaan diri jauh diatas rata-rata. Ia memiliki kemampuan menganalisis situasi seperti halnya Bartimaeus, yang makin terasah seiring ia dewasa, namun hal tersebut justru sering menempatkannya pada situasi hidup dan mati, sambil membawa-bawa sang jin, tentunya. Kalau menurut saya, kelemahan terbesar dari Mandrake justru adalah diri kecilnya yang bernama Nathaniel…


Kitty Jones
Berbeda kontras dengan Mandrake, Kitty adalah commoner, manusia biasa yang tidak dikaruniai kemampuan menyihir. Karena sebuah insiden yang nyaris membuatnya terbunuh, ia menemukan bahwa dirinya memiliki kemampuan bertahan terhadap sihir. Kitty menggunakan kemampuan tersebut untuk membangun Resistance, kelompok kecil berisi orang-orang dengan ‘kelebihan’ serupa dengan dirinya untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah.

Sudut pandang Kitty yang dipenuhi ketidakpercayaan terhadap penyihir semakin kuat ketika kelompok Resistance-nya dibantai oleh Honorius, namun juga memberikan pemahaman pada Kitty tentang ketidakberdayaan yang ia miliki. Pertemuannya dengan Bartimaeus saat keduanya berada dalam kuasa Mandrake mengawali keingintahuan Kitty terhadap Dunia Lain, dunia asal para demon.

Kitty memiliki kemauan keras dan tidak mudah dibantah, sekalipun oleh Mandrake. Persamaannya dengan Mandrake adalah bahwa keduanya sama-sama mengalami perlakuan tidak adil bertubi-tubi di masa muda mereka. Kitty, yang tidak seberuntung Mandrake memiliki kualitas gabungan antara keras kepala dan kemampuan survival yang hebat.

Ia tidak pernah sungguh-sungguh menampilkan emosi aslinya di depan orang lain. Kitty menggunakan topeng kepribadian yang bermacam-macam sehingga dapat membaur dengan banyak orang, terutama setelah ia kehilangan hampir seluruh anggota Resistance-nya.  


Asmira
Tokoh yang hanya muncul di Ring of Solomon ini di benak saya mirip dengan gambaran Kagura Mikazuchi di Fairy Tail. Asmira cerdas, memiliki keberanian tinggi dan loyalitas yang tak perlu dipertanyakan. Ia merupakan prajurit terbaik yang dikirim oleh Ratu Balkis, penguasa Sheba untuk membunuh Raja Solomon di Jerusalem.

Asmira dikaruniai kemampuan tinggi dalam pertahanan diri, termasuk terhadap demon (dengan bersenjatakan perak), dan juga memiliki kemampuan memanggil makhluk halus, seperti halnya pendeta matahari yang lain. Loyalitas Asmira digambarkan sebagai blindfold yang mencegah Asmira bertindak rasional dan menggunakan akal sehat (ini kata Bartimaeus lho).

Agak sulit juga mendeskripsikan Asmira, tapi yang jelas, dia mengalami perubahan kepribadian yang cukup drastis dari orang berpikiran tertutup menjadi jauh lebih bijaksana, tanpa mengurangi keberanian yang sudah ia miliki sejak awal.

---

In My Eyes:

Phew, kalau boleh dibilang, versi The Ring of Solomon adalah yang paling ‘ceria’ diantara keempat buku diatas. Boleh dibilang juga, selera humor Bartimaeus dalam buku tersebut jauh lebih ‘mengerikan’. Kalau triloginya sudah membuat saya ngakak sambil geleng-geleng kepala keheranan dengan ide cemerlang Bartimaeus, boleh dibilang si spin-off ini membuat saya gegulingan sambil berjuang berhenti tertawa. Boleh dibilang lagi sih, kalau The Ring of Solomon merupakan obat yang mujarab setelah kisah trilogi yang rilis sebelumnya.

Emangnya kenapa dengan kisah triloginya? Hahaha, saya tidak mau komentar di bagian ini.

Kisah trilogi Bartimaeus merupakan campuran yang tidak sederhana dari intrik dan humor. Sisi lucu dan sisi dark berjalan beriringan dengan kecepatan yang sama, menjadikannya cerita yang memiliki kemampuan untuk bermain dengan emosi pembacanya. Dalam satu titik, kita akan disuguhi kepolosan Nathaniel yang berubah menjadi ketamakan Mandrake, di titik lain kita disuguhi kekeraskepalaan Kitty, dan di titik lain kita disuguhi luka masa lalu dan kebencian Bartimaeus. Tapi, di sisi lain kita akan menemukan kekonyolan perilaku Nathaniel (dan juga Mandrake sih), dan yang mendominasi kocokan lambung, humor ngejleb Bartimaeus.

Menurut saya, buku yang paling seru adalah buku ketiga dari trilogi ini. Selain memberikan konklusi dari cerita luar biasa ini, buku ketiga juga sarat dengan pertentangan batin dari masing-masing tokoh utama (ini mencakup Bartimaeus lho) dengan tanpa melupakan humor sama sekali. Ending… ah, bagaimana saya menjelaskan ya? Sudahkah saya bilang bahwa saya banjir air mata saat pertama kali membacanya? Eniwei, banjir air mata ini masih terjadi setiap saya membaca kembali bagian endingnya ini (setelah agak lama tidak membaca tentunya).

Cerita ini jelas fiktif, jelas tidak masuk akal, jelas hanya imajinasi, jelas tidak mungkin jadi nyata, dan jelas-jelas lumayan panjang untuk diikuti. Tapi novel ini punya daya tarik kuat yang memungkinkan pembacanya untuk tersedot masuk ke dalam dunia yang dihuni Bartimaeus dan Nathaniel. Deskripsi yang detil dan gaya bahasanya yang unik mengajak kita memvisualisasi apa-apa yang sedang disaksikan Bartimaeus, Nathaniel, Kitty, dan juga Asmira.

Kekuatan lain dari serial ini adalah kemampuan sang pengarang menghubungkan kehebatan Bartimaeus dengan berbagai sejarah lama, baik di Mesir, Praha, dan Yunani. Sebut saja Tembok Besar Praha (Prague Great Wall), tenggelamnya Atlantis, juga cerita Nefertiti dan Sphinx. Deskripsi hubungan Bartimaeus dengan Jerusalem, Asiria, Babilonia dan Sheba juga muncul lumayan mendetil. Berubahnya aliran sungai Mesopotamia dan Legenda Minotaur juga jadi bagian deskripsi karir Bartimaeus di novel ini. Menurut saya, yang paling fantastis adalah cerita tentang Solomon dan Cincin Magis yang ia gunakan. Termasuk kemampuan Cincin memanggil ribuan entitas makhluk halus, penolakan lamaran Solomon, deskripsi perjalanan Ratu Balkis dari Sheba yang singkat tapi akurat, dan istana Solomon yang memang mirip dengan cerita yang sudah pernah saya dengar sejak kecil.

Ya tentu saja lah, semua itu merupakan parodi, tapi tetap saja, kemampuan Jonathan Stroud menggabungkan kesemuanya itu kedalam satu kepribadian bersejarah yang ia namai Bartimaeus merupakan sesuatu yang patut diacungi jempol. Kemampuan parodi ini membengkak ke arah yang hebat dan memberikan jaminan ngakak guling-guling pada spin-off ­dari trilogi ini, The Ring of Solomon.

Oke, sekarang kita beranjak ke *ehm* kelemahan dari novel ini. Novel ini disampaikan dalam tiga POV (point of view), yaitu dari Bartimaeus sendiri, Nathaniel dan Kitty (dan pada Ring of Solomon terdapat POV Asmira). Dengan kepribadian ketiganya yang lumayan (sangat) berbeda, maka sepertinya POV-POV tersebut akan memiliki fans sendiri-sendiri.

Yah, jujur saja sih, berhubung saya adalah orang berkepribadian ceria *halah* maka membaca POV dari Kitty, walaupun menarik, namun tidak semenarik POV Bartimaeus dan Nathaniel. POV Kitty mulai muncul di buku kedua, The Golem’s Eye, dan jujur saja, saya baru benar-benar tertarik dengan POV Kitty di setengah akhir buku ketiga.

POV favorit saya, jelas saja, POV Bartimaeus, yang banyak mengandung catatan kaki alias footnote yang informatif dan konyol sekaligus. Biasanya pada catatan kaki, sang jin akan membeberkan penjelasan tentang apa yang sedang ia bicarakan, biasanya sambil disertai dengan narsisme tingkat tinggi dan sikap merendahkan terhadap manusia. Lucunya, cara penyampaian Bartiameus yang blak-blakan malah membuat saya betah membaca POV miliknya.

POV Nathaniel sedikit lebih kelam dari POV Bartimaeus, dan penuh dengan segala macam hal manusiawi, seperti misalnya rasa frustasi, rasa takut, dan kepercayaan diri yang naik turun. Tapi justru pertentangan internal antara Mandrake dan Nathaniel menurut saya menarik. POV yang juga saya suka adalah POV Asmira, yang penuh dengan petualangan, mulai dari Sheba sampai di punggung Solomon. Personally, saya suka personalisasi Asmira dan perubahan cara pikir yang ia alami selama ia bersama Bartimaeus :)

Heh? Kok sudah panjang? Well, that’s it. Saya sih, merekomendasikan novel ini untuk yang menyukai bacaan berbobot dan penuh cerita historis, tanpa membuang unsur humor dan sarkasme unik. Unsur psikologis sebenarnya juga cukup menonjol jadi bisa deh saya rekom untuk penyuka serial yang mengeksplor kepribadian tokoh-tokohnya. Yang suka cerita action, deskripsi aksi Bartimaeus dkk di novel ini sangat detil, jadi saya rekom juga. Untuk penyuka cerita ringan, saya menyarankan The Ring of Solomon sebagai pilihan, tapi saya pikir cerita triloginya juga ndak berat-berat amat kok jadi bisa lah saya rekom keempat-empatnya, hahahaha *gak konsisten*

Intinya, cerita Bartimaeus memiliki aura yang berbeda diantara sekian banyak tebaran cerita yang merupakan hibrida dari magis, action dan petualangan. Sayang untuk tidak dibaca, dan sayang untuk tidak segera diangkat ke layar lebar *whooooiii… yang merasa produser, whoooooiiii! Ayolah cepetan dirilis movienyaaa*


---
dan saya masih menunggu kabar rilis movie ini, hohoho ^^ 

Sabtu, 10 Agustus 2013

'Maaf'

Apalah arti sebuah kata 'maaf'?

Segalanya.
Atau,
Bukan apa-apa.

Bukan hal sulit untuk memaafkan,
memang sih,
tapi ada beberapa hal yang menyebabkan agak sulit untuk memberikan sebuah kata sederhana sebagai balasan permintaan maaf...

Dendam?
Entah ya? Saya lebih memilih menyebut sebagai 'khawatir'
Khawatir jika saya memaafkan dia, maka dia akan kembali mengecewakan saya bertubi-tubi seperti yang sering dia lakukan di masa lalu..

Bukan yang pertama kali buat saya menghadapi dilema seperti itu,
Separuh dari saya ingin memaafkan, namun separuh lagi tidak.
Saya tergoda untuk membiarkan silaturahmi kami terputus, tak peduli betapapun dia meminta,

Hidup ini cuma sekali,
apa salahnya sih menyambung silaturahmi?
Nah, apa salahnya sih memutuskan silaturahmi dengan orang yang tidak pernah menghargai kita sama sekali?

Saya bukan malaikat lho...

Intinya,
saya kapok berhubungan dengan orang tersebut.

Salahkah?

Haha,
Di dunia ini, ada beberapa orang yang sebaiknya kita hindari sampai dengan pemutusan silaturahmi,
Dengan alasan: melindungi diri sendiri

Yah, itulah hidup,
Mau tidak mau, pasti ada saatnya kita memilih tidak memaafkan daripada mengambil risiko dengan memberikan maaf yang sia-sia...

Pada akhirnya, sayalah yang harus meminta maaf,
'Maaf, saya belum bisa mempercayaimu...'