They say, first love never dies. For me, it is not that it never dies, but the lesson of first-times lays deeper than any other. And that is all it is.
Ada yang beda kali ini.
Biasanya saya ke kota ini dalam rangka jalan-jalan sambil (kalo katanya orang jaman sekarang) baper.
Tapi kali ini, saya sekedar ngikut adik saya main kesini karena saya ingin membuktikan satu hal:
Have I really close the book?
Ada sebuah cerita yang selalu lekat di hati saya tentang kota ini.
Cinta pertama saya.
Patah hati pertama saya.
Penyesalan pertama saya.
Belajar move on pertama saya.
Saya mencintai kota ini atas sebuah cerita tak tersampaikan yang pernah saya alami, lama, bertahun-tahun yang lalu.
Cerita itu lama mengendap di dalam hati, pikiran dan ingatan saya.
Bahkan hanya lewat stasiunnya saja saat perjalanan ke Jogja pun, saya masih juga baper.
Jadi tarafnya seperti itulah.
The scar was... too big to ignore.
Sejujurnya, cerita ini berawal saat September awal lalu saya berangkat dari Malang menuju Jogja, yang of course, melewati stasiun kota ini.
Saya terkejut sekali saat itu.
Kenapa?
Karena untuk pertama kalinya saya tidak baper saat pengumuman di kereta menyebutkan nama stasiunnya.
Hahaha 😛
Buat orang lain mungkin garing, tapi buat saya itu adalah hal yang luar biasa penting.
Why?
Karena saya tidak pernah tidak baper kalo terkait-ngait sama kota ini. Told you. Seriously.
Jadi...
Ketika minggu lalu adik saya bilang bahwa dia ditugaskan kampusnya untuk ikut semnas di kota ini, mendadak pikiran aneh muncul di otak saya.
I wanted to challenge myself.
Bukan sekedar lewat, saya ingin sungguh-sungguh ke kota ini.
Saya ingin kembali ke tempat semua hal bermula bagi saya. Ke kota yang pernah sepenuhnya mencuri hati saya. Ke kota yang pernah menjadi bagian dari impian masa depan saya.
Like I told you, my first love was here.
Maka disinilah saya sekarang, di pusat kota, mengenang hal-hal yang dulu pernah saya rasakan saat saya berada disini.
How beautiful it was. So beautiful.
Saat saya memutar kembali kejadian demi kejadian yang terjadi kala itu, saya berkata pada diri saya sendiri, 'betapa takdir bisa membelah mimpi dengan satu helai rambut, jika Allah mengizinkan,'
Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya menceritakan kembali kronologis cerita yang telah lama hilang dalam hidup saya.
Sebuah cerita tentang harapan, impian, keinginan, penyesalan dan pendewasaan diri.
I was crying for the whole month, that time.
That was... one of the most difficult fact I have ever had.
Tapi, hal tersebutlah yang membuat saya menjadi diri saya yang sekarang ini.
Diri yang saya cintai, lebih daripada saya mencintai diri saya yang dulu.
Allah menutup sebuah pintu dengan alasan yang saat itu tak bisa saya terima.
Tapi saat ini, alhamdulillah, waktu telah mengajari saya untuk menerima hal yang memang tak bisa saya rubah.
Waktu jugalah yang memberikan saya hikmah atas semua hal yang tidak bisa saya capai.
Waktu jugalah yang memberikan saya hikmah atas semua hal yang tidak bisa saya capai.
Saat ini ketika saya duduk di salah satu pendopo keraton, saya menyadari bahwa saya sudah berjalan begitu jauh.
Dan di posisi saya duduk saat ini, untuk pertama kalinya, saya tidak lagi merasakan penyesalan apapun.
I have completely moved on.
With all my heart and soul.
Dearest Surakarta,
You will remain my very first love.
But I guess, my last love lies there, in my own city.
------
Originally written while sitting on a bench inside Keraton Surakarta,
24 September 2016, 12.05 pm
So u had beaten ur past?
BalasHapusNgomong2 surakarta itu solo bukan? Hahaha. Cuma pernah lewat solo waktu dari jogja ke daerah jawa timur sana dulu.
yupi, solo itu surakarta :D
Hapusyah... sudah waktunya dia pergi, hahaha :p
wah.., sy jg pernah ngalamin hal yg sm#eh
BalasHapusnyesek2 gmn gt :D
Pake bawa bawa kota ndak? Ehehe
Hapus