"Suatu saat, mahasiswa yang kau bilang ‘bocah’ itu akan dewasa. Ia akan ingat hal baik dan hal buruk yang kamu lakukan, dan percayalah, mahasiswa selalu punya ingatan yang lebih bagus daripada dosennya,”
-- (ayah saya, 2012)
Hari itu adalah salah satu hari
di tahun 2010, saat saya memasuki semester kedua pendidikan profesi di sebuah
rumah sakit. Saat itu saya sedang stase di instalasi X, salah satu dari empat
instalasi besar di rumah sakit. Saya sekelompok dengan dua orang, yang satu
adalah teman seangkatan saya yang berwarga negara Malaysia, dan seorang lagi
adalah kakak kelas saya yang juga adalah putra dari kepala instalasi X.
Entah lucky atau out of luck,
pembimbing kami bertiga adalah seorang dokter berinisial Z (bukan inisial
sebenarnya).
Tugas kami selama stase adalah
mengikuti jadwal operasi dan jadwal jaga poli. Karena kami berjumlah tiga orang
dan jadwal operasi dan jaga poli seringkali berbenturan, saya dan kedua teman
saya sepakat untuk membagi diri dengan urut. Artinya, ada saat dimana saya akan
sendirian di ruang operasi, tapi ada kalanya saya akan berdua dengan teman saya
di poli, atau sebaliknya.
Insiden itu terjadi saat saya
dan teman saya dari Malaysia ini dapat bagian di poli dan kakak kelas saya
kebagian jadwal di ruang operasi.
Sore itu, saat saya dan teman
saya sedang bersiap untuk jam jaga UGD, kami berdua ditelepon oleh sekretaris dokter Z
agar segera menghadap ke beliau. Kami berdua pun segera menuju ruang instalasi
untuk menemui beliau dan apa yang terjadi?
Well, singkatnya beliau marah
besar pada kami berdua karena pada hari itu tidak ada koas yang hadir di ruang
operasi. Beliau berkata bahwa beliau tidak akan meluluskan kami karena beliau
menganggap kami tidak patuh aturan. Beliau mengganggap attitude kami sangat
buruk dan tidak pantas menjadi dokter, dan seterusnya dan seterusnya.
(saya masih ingat benar lho
bagaimana beliau marah ke kami pada hari itu).
Beliau tidak memberikan kami kesempatan untuk membela diri, sampai pada suatu
titik, saya dan teman saya akhirnya ‘menjawab’.
Kami menunjukkan ke beliau
jadwal kecil yang kami buat bertiga. Jadwal itu menunjukkan dengan jelas bahwa
tugas kami hari itu adalah di poli, bukan di ruang operasi.
Kami mengatakan bahwa pada hari
itu seharusnya kakak kelas kamilah yang hadir di ruang operasi.
Beliau menyuruh kami memanggil
si kakak kelas ini untuk menghadap beliau juga (dan menyalahkan kami kenapa
kami tidak memberi tahu kakak kelas ini sekalian untuk menghadap beliau. Saat
kami menjawab bahwa sekretarisnya tadi hanya menyebutkan nama kami, beliau
makin menyalahkan kami, mengganggap kami menyalahkan orang lain atas kesalahan
kami, hahaha :p).
Oke singkat cerita akhirnya kami
berhasil menghubungi kakak kelas kami dan ia pun menyusul kami ke ruang dokter
Z.
Lalu apa yang terjadi?
Haha,
Call this crazy,
But it was real.
Nada beliau berubah 180 derajad
saat kakak kelas saya memasuki ruangan tersebut. Percakapan mereka menjadi
sangat friendly dan disertai dengan saling bertanya kabar satu sama lain.
Saat kakak kelas saya bilang
bahwa ia ketiduran dan kelewatan jadwal operasi, dokter Z hanya bilang, “Lain
kali jangan gitu ya,” dengan intonasi yang sangat berbeda dari yang digunakan
beliau pada kami.
What the he?
Jadi, kalau seorang dokter ketiduran dan kelewatan jadwal operasi tuh ndakpapa ya? Heh...
Kayaknya ndakpapa sih, soalnya kan toh itu 'cuma' pasien yang mungkin ndak penting kali ya?
Oh salah,
Kayaknya ndakpapa sih, kan tinggal nyalahin orang lain yang dianggap ndak penting aja kan?
*istigfar*
Jadi, kalau seorang dokter ketiduran dan kelewatan jadwal operasi tuh ndakpapa ya? Heh...
Kayaknya ndakpapa sih, soalnya kan toh itu 'cuma' pasien yang mungkin ndak penting kali ya?
Oh salah,
Kayaknya ndakpapa sih, kan tinggal nyalahin orang lain yang dianggap ndak penting aja kan?
*istigfar*
At that time, I understood. Ia,
kakak kelas kami, adalah seorang kebal hukum yang takkan pernah salah apapun
yang terjadi.
Lalu bagaimana nasib saya dan teman saya? Yah, gimana ya... harimau itu selalu lapar, jadi dia pasti akan mencari kambing, walaupun si kambing habis nyemplung aspal dan berubah warna bulu menjadi hitam.
Lalu bagaimana nasib saya dan teman saya? Yah, gimana ya... harimau itu selalu lapar, jadi dia pasti akan mencari kambing, walaupun si kambing habis nyemplung aspal dan berubah warna bulu menjadi hitam.
Kejadian itu sangat berbekas
dalam hati saya. Sakitnya tuh disini, ahahaha XD (ini ketawa miris).
Itu adalah salah satu potret
ketidakadilan yang dapat ditemui di pendidikan profesi. Walaupun saya mengakui,
masa-masa pendidikan profesi saya (lepas dari yang itu) adalah masa yang
menyenangkan dan sangat bermanfaat, tapi hal-hal seperti itu sesungguhnya adalah
hal yang ‘biasa’ terjadi.
Tapi setidaknya, lewat kejadian
itu, saya jadi bisa berjanji pada diri saya sendiri bahwa saya tidak akan menjadi orang
seperti dokter Z.
--- Oke flashback selesai.
Hari ini, saya mendapat mandat
menjadi ketua komisi pembimbing ujian proposal untuk mahasiswa saya. Sudah lama
saya tahu dari mahasiswa yang bersangkutan bahwa partner pembimbing saya adalah
dokter Z.
Saya yakin 1000% (saya sadar kok
nulis 3 nol) bahwa beliau takkan ingat saya.
Saya juga yakin 10000% bahwa
beliau akan menunjukkan attitude yang ‘berbeda’ jika menjadi pembimbing di
tingkat preklinik.
Ternyata?
Beliau nampak kaget saat melihat
saya masuk ruang ujian. Saya pun bingung mendefinisikan bagaimana model
kagetnya. Mungkin kaget karena nama saya mungkin tidak sama dengan wajah saya
(nama saya sangat ‘kuno’ bahkan untuk ukuran orang Jawa). Mungkin kaget karena
saya dikiranya sudah tua. Mungkin kaget karena merasa pernah melihat saya.
Atau, mungkin kaget karena ingat bahwa saya tak lain dan tak bukan adalah
mahasiswa yang menjadi ‘tumbal’ bagi sang putra ketua instalasi di tahun 2010.
Entahlah, hanya beliau dan Yang
Di Atas yang tahu.
Prosesi ujian berjalan baik,
walaupun beberapa kali beliau justru mengajak saya berbicara padahal mahasiswa
saya sedang presentasi. Beliau juga menanyakan saya ditugaskan dimana di
fakultas saya, dan saya menganggap pertanyaan itu agak sedikit ‘aneh’, karena
tahun ini adalah tahun keempat saya menjadi dosen.
Jauh di dalam hati sebenarnya
saya ingin protes agar beliau lebih mendengarkan mahasiswa saya yang sedang
presentasi, tapi entah kenapa atas nama sungkan akhirnya saya diam saja.
Bagaimanapun, beliau tetap dosen
saya kan?
Kesabaran saya menipis saat sesi
tanya jawab berlangsung.
Beliau menanyakan hal-hal yang…
okelah memang penting, tapi (seperti dulu beliau tidak memberi kesempatan saya
membela diri) beliau tidak memberikan kesempatan pada mahasiswa saya untuk
menyampaikan argumentasinya.
Kalau film kartun, sudah muncul
vena bersilangan di pelipis saya :p
Entah karena saya punya memori
buruk atau karena memang sudah waktunya saya protes, saya akhirnya memotong
beliau dan menyampaikan pendapat saya.
Ada emosi yang bercampur pada
saat saya menyampaikan pendapat itu.
Ada sekelumit kemarahan disitu.
Ada rasa sakit karena saya
kembali teringat bagaimana beliau menyalahkan saya atas hal yang tidak pernah
saya lakukan.
Ada rasa tidak ingin kalah.
Ada rasa ingin menunjukkan pada
beliau bahwa walaupun saya 20 tahun lebih muda dari beliau, saya bukannya tidak
paham dengan apa yang dilakukan mahasiswa saya.
Diatas segalanya,
Saya tidak ingin menjadi orang tidak
berdaya yang hanya bisa menerima saat disalahkan oleh beliau seperti diri saya
lima tahun lalu.
Saya merasa punya hak untuk
mempertahankan mahasiswa saya.
Plus, kayaknya itu juga
kewajiban pembimbing deh…
Sampai akhir, adu pendapat kami
seimbang.
Beliau tidak mau kalah dan saya
juga tidak berniat untuk kalah (padahal kami berdua sama-sama pembimbing, gimana kalo salah satu dari kita penguji ya? Hmmm....)
Meskipun demikian, pada akhirnya
sebagai ketua komisi saya harus menyudahi adu argumen tadi karena waktu sudah habis.
Pada dasarnya, sejak dahulu
kala,
Saya tidak suka dosen yang tidak
menghargai kerja keras mahasiswanya.
Saya tidak suka dosen yang tidak
memberikan kesempatan mahasiswanya mempertahankan diri.
Saya tidak suka dosen yang
mendominasi segala perbicangan dan merasa pendapatnya paling benar.
Dunia ini luas, semua orang
berhak untuk memiliki pendapat.
Yang penting adalah alasan di
balik pendapat itu kan?
Bukannya dalam sebuah ujian itu
seharusnya mahasiswanya yang dominan menjelaskan?
Kenapa dosen harus sebegitunya
mencari kesalahan dari mahasiswanya?
Berilah waktu untuk mereka
menjelaskan dan menyampaikan isi pikiran mereka.
Mereka lho juga manusia.
Mereka berpikir.
Mereka mungkin jauh lebih
brilian dari kita yang lahir duluan.
Apa sih kelebihan dosen dibandingkan mahasiswa? Hehe, dosen cuma kelebihan usia dibanding mahasiswanya kok..
Saat ujian, mahasiswa akan mencurahkan segalanya disitu.
Apa sih kelebihan dosen dibandingkan mahasiswa? Hehe, dosen cuma kelebihan usia dibanding mahasiswanya kok..
Saat ujian, mahasiswa akan mencurahkan segalanya disitu.
Hargailah mereka.
Tanyai alasannya, jangan hanya
bisa membuat judgement salah dan benar.
Diatas segalanya, mereka akan tumbuh
dewasa, bahkan mungkin suatu saat nanti nyawa kita ada di tangan mereka.
Apa sih sulitnya memperlakukan
mereka dengan baik?
(Tarik napas panjang….)
Oke itu dasarnya.
Dan ditambah dengan history,
jadilah saya tadi memiliki hasrat untuk mengeluarkan sisi wolverine saya,
hahahaha :p
Maafkan, saya agak emo hari ini.
Sejujurnya saya tidak menyangka akan menjadi se-emo ini karena saya
sungguh-sungguh mengira bahwa beliau tidaklah seperti image yang saya punya
tentang beliau lima tahun lalu.
Saat ternyata image itu masih benar
adanya, well, there goes my self control.
Mahasiswa saya?
Haha, wajahnya jadi kebingungan
melihat saya.
Entahlah,
Saya kira hal ini akan berlanjut
makin panas nanti saat ujian kompre.
Yah, kadang saya memang marah ke mahasiswa, secara memang ada kok mahasiswa yang ‘saking anehnya jadi nyebelin’, tapi semoga saya bisa selalu ingat untuk menanyai alasan yang dimiliki mahasiswa tersebut sehingga ia melakukan sesuatu yang membuat saya ngambek.
Yah, kadang saya memang marah ke mahasiswa, secara memang ada kok mahasiswa yang ‘saking anehnya jadi nyebelin’, tapi semoga saya bisa selalu ingat untuk menanyai alasan yang dimiliki mahasiswa tersebut sehingga ia melakukan sesuatu yang membuat saya ngambek.
Satu hal yang saya tahu,
Saya harus belajar banyak.
Saya harus bisa lebih paham lagi
dengan apa yang saya ajarkan pada mahasiswa saya.
Karena partner pembimbing saya
sepertinya tidak berniat untuk memberikan bimbingan. Hanya judgement saja.
(Lhaiya to… beliau jadi
pembimbing saja menjudge seperti itu, apalagi kalau jadi penguji? Haha, seems
interesting enough :p)
Btw, ini saya ngomelnya panjang
amat ya? -__-“
Sudah deh, saya setop disini.
Semoga kedepan saya bisa tetap
membimbing dengan baik, dengan atau tanpa beliau.
Dan semoga saya akan selalu ingat
bahwa saya tidak pernah mau menjadi dosen seperti beliau.
Amiiinn…
Sepakat banget ini, ngalamin juga sih... Dulu nya ia adalah rekan dosen, ga nyangka saat ini harus berdampingan menjadi pembimbing. Biasanya sebelum ujian mulai, aku bertanya2, setelah sekian tahun lamanya, apakah karakter beliau akan berubah? Atau masih sama seperti dahulu?
BalasHapusSuka dg bagian ini,
Yah, kadang saya memang marah ke mahasiswa, secara memang ada kok mahasiswa yang ‘saking anehnya jadi nyebelin’, tapi semoga saya bisa selalu ingat untuk menanyai alasan yang dimiliki mahasiswa tersebut sehingga ia melakukan sesuatu yang membuat saya ngambek.
hahaha iya, kirain sudah berubah, ternyata kok tidak ya, hihihihi :p
Hapusmakjleb bgt sih tulisan ini, pernah kasus seperti dimarah2in ga jelas untuk bukan kesalahan karena yg satu kebal omelan hahaha #miris ternyata di dunia kerja dimanapun dan apapun sama aja ya :D
BalasHapusHahaha, iya dimanapun sama ternyata, semoga kita bisa lebih bijak ya :|
HapusSaia aj yg cm baca, geregetan apalagi yg ngalamin yak :)
BalasHapusHarusny beliau sosok yg digugu dan ditiru, eh#usia en pendidikan kdng gak mjamin positifny karakter seseorang.
He he....tp mmng d dunia ini banyak sosok2 seperti beliau, yg sepertinya butuh pencerahan#eh
Hasrat ingin lempar sandal, sayang sy pas pake sepatu, ahahaha XD
HapusYah, semoga beliau segera disadarkan :|
Mudah-mudahan makin banyak lagi dosen-dosen seperti Mbak, tapi alhamdulillah dosen anis d kampus yg sekarang tipe-tipenya memang ingin mendidik mahasiswanya.
BalasHapusJadi ingat pas bimbingan campuran sm mhssw beda univ dengan dosen pembimbing sekarang, beliau nanya, nanti kabarin saya ya, sebelum ujian pengujinya siapa? Saya kok heran waktu mendampingi mahasiswa bimbingan saya,"dosen di Indonesia kejam-kejam ya... seingat saya waktu jadi mahasiswa waktu sidang saya diberi masukan banyak untuk tesis saya." Btw, beliau lulusan durham
Tapi selama ikut seminar hasil di kampus sekarang notabene dosen pembimbingnya kayak mbak siennra, membantu banget pas sidang. Biasanya agak strict kalo mahasiswanya baru datang bimbingan dekat" injury time. Bisa dibantai. Jehehe
Amiiinnn... karna pernah mengalami jd mahasiswa yg dapat 'jackpot', jadi berusaha supaya tidak jadi jackpot.
Hapus(Jackpot: kejam bin killer :p)