(sebuah cerita masa clerkship)
23.25 WIB…………
Hujan yang mengguyur kota baru saja berhenti. Malam yang gelap akan membeku tanpa suara jika saja suara nafasku tidak begitu kasar dan keras. Aku baru saja berhenti menangis.
22.50 WIB…………
Kuletakkan tas punggungku begitu saja di kamar, lalu bersiap tidur. Bisa kudengar hujan yang mengguyur kota begitu lebat tanpa ampun. Entah mengapa, bagiku suara itu seperti mewakili air mata orang-orang yang tak kukenal nun jauh disana. Aku merasa begitu aneh ketika menemukan suara menyayat hati diantara gemuruh hujan. Dengan segera aku menutup telinga dan mengatakan dengan tegas pada diriku sendiri untuk berhenti berkhayal. Namun sebagaimanapun kututup telingaku, guyuran hujan yang keras menghantam atap menusuk-nusuk liang telingaku dengan bait-bait kesedihan yang berasal entah dari mana.
Aku tak lagi lelah, bahkan aku bertaruh segalon diazepam takkan bisa membuatku tidur saat ini. Aku sadar otakku sudah berteriak memintaku beristirahat, namun aku terus saja membelalakkan mata ke sekelilingku. Tembok-tembok dingin dan tumpukan handout diatas meja terus saja membisu tak peduli aku mencurahkan banyak perasaan lewat tatapanku. Perlahan, aku mendengar derik lain diantara suara guyuran hujan yang memekakkan. Aku menajamkan telinga, memilah diantara ribuan suara titik hujan dan menyadari bahwa derik itu sangat dekat denganku. Kusadari dengan kaget bahwa derik itu adalah suara napasku yang tersengal. Aku sedang menangis. Terus. Terus mengalir tanpa bisa dibendung.
Kupejamkan mataku. Kucoba menenangkan diri. Namun justru kegelapan dalam kelopak mataku membukakan layar-layar kenangan yang baru meninggalkanku. Semua kejadian diputar kembali di benakku, membuatku semakin merasa begitu bodoh karena tidak bisa mengendalikan diri. Detil-detil kejadian itu begitu jelas dan memuakkan, menjejalkan satu pertanyaan penting yang belum terjawab: “Berapa harga nyawa manusia?”
20.55 WIB…………
Dua jam tanpa lelah nyaris berlalu sejak aku mulai berjaga diantara puluhan manusia-manusia mungil yang membawa harapan orangtuanya masing-masing. Harapan itu adalah untuk bertahan hidup, tumbuh besar dan menjadi orang yang berguna suatu saat nanti. Wajah-wajah mereka yang polos dan tenang saat tertidur pulas menunjukkan kedamaian yang menyejukkan.
Sebenarnya aku sudah sangat lelah dan merasa begitu terforsir sejak pagi hari. Teman-temanku juga sudah menunjukkan wajah lelah yang sama. Kakak-kakak kami, yang lebih terbiasa dengan rasa lelah dan terforsir terus menyemangati kami, walaupun pada akhirnya guyonan mereka yang super garing tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya.
Malam yang kian merapatkan gelap di langit semakin menyemangati rasa kantuk yang sudah mulai muncul sejak berjam-jam yang lalu. Nikmatnya kantuk kami sempat terputus karena seorang pasien kami mengalami kejang berulang. Hal itu pula yang mengharuskan pembimbing kami—satu-satunya dokter jaga di ruangan tersebut—menjalani serangkaian konsultasi tambahan dengan dokter-dokter lainnya.
Ketika pembimbing kami keluar ruangan untuk melanjutkan rangkaian konsultasinya, kami sudah nyaris tepar karena rasa kantuk big size yang menghantam berkali-kali. Kami sepakat untuk menyetel sederetan lagu upbeat, supaya bisa terus membangunkan otak kami. Sebenarnya, aku merasa khawatir hentakan musik akan membangunkan puluhan bayi yang tertidur di sekitar kami, namun ternyata tak satupun tangisan yang terdengar. Semuanya baik-baik saja, batinku.
Aku menyibukkan otakku dengan membaca tumpukan kertas status pasien sambil menertawakan komentar seorang kakak kami yang mengatakan bahwa tidak biasanya malam hari begitu tenang tanpa tangisan bayi; seperti malam itu. Isi status pasien sendiri tidak bisa kuserap seperti spons menyerap air, karena cadangan energi yang sudah menipis sekali. Bagiku, yang penting adalah bagaimana menjaga otakku tetap membiarkanku terbangun.
Merasa tidak satupun lagu upbeat yang bisa tetap membuatku terjaga, aku bangkit dari tempat duduk dan berjalan berkeliling. Teman-temanku juga mulai mencari aktivitas lain. Kuamati satu-persatu manusia-manusia mungil yang masih terlelap, sambil bertanya-tanya apakah mereka sedang bermimpi dalam keheningan masing-masing. Lalu pandanganku tertuju pada seorang bayi yang sedang terlelap di pojok ruangan. Bayi prematur 7 bulan itu sedang menjalani phototherapy dan sebuah nasal canule terhubung dibalik pelindung anti cahaya yang melindungi matanya. Selain kedua hal itu, ia tak nampak berbeda dari yang kawan-kawan seperjuangannya yang lain. Namun entah mengapa ia nampak aneh bagiku. Dalam balutan cahaya ungu phototherapy kulitnya nampak berbeda dari bayi lainnya. Aku berbalik dan menemukan hanya satu orang kakak kami yang ada bersamaku di ruangan itu. Aku menanyakan padanya tentang perbedaan yang kulihat, namun karena ia sedang melakukan bagging pada bayi yang lain, ia tidak bisa menyusulku. Aku berkesimpulan bahwa perbedaan yang kulihat pada bayi prematur tadi adalah efek phototherapy, lalu aku kembali ke tumpukan kertas status pasien.
Aku sedang mengikuti bait-bait lirik lagu yang berbunyi pada saat itu ketika seorang senior masuk. Aku tetap melanjutkan acara membacaku dengan santai. Dengan santai. Setidaknya hingga segalanya berubah dengan segera setelah itu…
Aku melihat senior itu berhenti di depan bayi prematur yang kulihat tadi.
“YA TUHAN!! Apa yang kalian lakukan?! Bayi ini sudah meninggal!!” jeritnya.
Aku melompat berdiri, memandanginya dengan tidak percaya, terlebih ketika tubuh bayi itu diangkat keatas. Aku terpaku melihat tubuh bayi itu yang sudah begitu pucat. Darimanapun aku melihatnya, aku merasakan getaran ketakutan di punggungku.
“Panggil dokter!!!”
“Ambilkan suction!!”
“Warmer!! Nyalakan!! Cepaaatt!!”
“Epinefrin!! Bawa kesini!!”
“Cepat!!! Mana orang-orang yang lainnya??!!”
Segala teriakan menusuk telinga menggulung kedamaian yang manis di malam itu. Aku membeku di kakiku, tidak bisa merasakan kemauan untuk melangkah kemanapun. Kupaksa otakku bekerja menggerakkan kaki, lalu sepersekian detik kemudian aku berlari dan mengambil perangkat bagging dari satu-satunya kakak kami yang ada disitu, sehingga ia bisa mengambil sejumlah alat life saving lainnya. Tak lama berselang, teman-temanku dan kakak-kakak kami lainnya datang dan membantu kami. Semenit kemudian pembimbing kami kembali ke ruangan itu dan mengambil alih tindakan.
21.54 WIB…………
Aku melangkah keluar dari bangunan yang membesarkanku sebagai tenaga medis. Beberapa menit yang lalu aku tersihir ketika tanda pasti kematian muncul di tubuh mungil tanpa dosa yang pernah kuamati. Kurasakan beban menyesakkan dalam diriku. Aku menahan diriku sebisa mungkin, memastikan tak ada air mata yang tak sengaja mengalir. Kupaksa diriku untuk tersenyum pada siapapun yang kutemui di perjalanan pulangku, walaupun aku tahu jauh di dalam hati aku sama sekali tidak bisa tersenyum.
Aku telah menyadari adanya keanehan pada manusia mungil yang kuamati.
Tapi aku tidak bisa memutuskan itu apa. Aku tidak bisa menyimpulkan apa yang sedang terjadi. Entah mengapa aku merasa begitu bodoh. Bodoh sekali…
Seandainya aku tidak begitu bodoh, mungkinkah bocah itu masih hidup? Bukankah setiap manusia membawa harapan dalam kehidupannya? Seandainya bocah itu hidup, ia akan tumbuh besar, ia akan sekolah, meraih cita-citanya, dan membahagiakan orangtuanya. Kini ia pergi menyisakan air mata bagi orangtuanya, dibalut kesedihan yang takkan bisa kurasakan selain dalam imajinasiku sendiri.
00.10 WIB…………
Kuselesaikan tulisanku ini dengan menghapus sisa-sisa air mataku. Kucoba memaksakan diri untuk memejamkan mata dan kubiarkan rasa lelah mengambil alih kesadaranku. Tak lama berselang, diselimuti kelelahan hebat, aku tertidur, membawa serta segala yang baru saja terjadi sebagai kenangan tak terlupakan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca, have a good day!