|
my flight, one day in December 2014 |
Setiap tahun, saya membuat
semacam kaleidoskop berisi hal-hal yang saya alami setahun terakhir, namun
tahun ini, sebuah konklusi datang di kepala saya pasca seorang sahabat saya
menelepon saya dari suatu tempat nun jauh di sana…
… dan membuat saya sadar, sekali
lagi, tentang kehidupan saya di balik kaca.
One said, “I envy you. You have your passion, while I do not know what
kind of passion I should have,”
Passion saya adalah yang membawa
saya hidup seperti kehidupan saya saat ini. Sekilas, nampak seperti kehidupan
serba nyaman dan tanpa cela.
Alhamdulillaah, I am blessed.
Adalah sebuah rahmat, bahwa saya bisa hidup seperti kehidupan saya saat ini.
Tak pernah lelah saya bersyukur atas hal yang telah dilimpahkan-Nya pada saya. Tidak
sempurna memang, tapi saya bersyukur memiliki semua hal ini.
One said, “You have a strong front, positive attitude, and untamed
determination,”
Saya punya kecenderungan untuk
selalu berusaha sebaik mungkin. Saya juga punya kecenderungan untuk tidak
menyerah sampai titik darah penghabisan (oke, klise). Saya selalu mengatakan
pada diri saya sendiri, ‘selalu ada jalan’, ‘pasti ada jalan’, pasti ada
pemecahan’, ‘pasti akan baik-baik saja’.
One said, “Your personality resembles both gentle snow breeze and tough
wolverine,”
Mereka yang kenal saya cukup
lama akan memahami bahwa saya kadang memiliki beberapa persona yang saya
gunakan. Mereka selalu bilang bahwa seorang siennra yang tidak ada
halus-halusnya dan kadang asal ngeplak akan berubah menjadi halus dan sopan di
depan pasien. Well to tell you the truth,
I am, basically, a medical doctor (who never really realized this fact until my
last month of professional training).
Mereka yang baru kenal saya akan mengatakan bahwa passion saya mengajar terlihat sekali di
kelas. Kala saya menjelaskan sesuatu, kala itulah passion saya paling terlihat.
Sejak masa sekolah dulu, saya sering dipuji karena kemampuan saya menjelaskan
ke orang lain.
Permasalahannya, saya tidak
selalu mau menjelaskan, ahaha :p
One said, “You are… perfect,”
Entah kenapa ada yang menyebut
saya demikian. Mungkin karena saya seorang dokter? Mungkin karena saya seorang
dosen? Mungkin karena orang tua saya?
Sejujurnya sih, saya tidak suka
dikenal orang karena orang tua saya. Sejujurnya juga, saya juga tidak seberapa
suka jika dipuji-puji orang karena saya seorang dokter. (Yah walaupun harus
saya akui bahwa kadang gelar dokter ini agak ‘memudahkan’ di beberapa aspek). Intinya
adalah, saya lebih suka dikenal orang sebagai saya, seorang individu biasa
tanpa atribut apapun berupa gelar dan keturunan.
Ada beberapa orang yang
menganggap saya ‘angelic’, karena yang pernah mereka saksikan adalah sisi saya
saat mengajar atau berhadapan dengan pasien. Seriously, bahkan beberapa sahabat masa kecil saya kadang tidak percaya
bahwa saya juga punya sisi ‘not-too-angelic’ alias manusiawi.
In fact, I have been living in a glass since very beginning.
Saya terbiasa menjadi sorotan orang
di sekitar saya. Pujian dan seru kekaguman sudah kenyang saya dapat sejak saya
kecil. Banyak yang bilang saya cerdas. Banyak yang bilang saya bisa menjadi
apapun yang saya bisa. Alhamdulillaah, saya mensyukuri semuanya.
Sejak kecil, saya akrab dengan
ranking pertama. Saya akrab dengan nilai tertinggi di kelas. Barulah ketika SMA
saya keluar dari comfort zone dan bertemu dengan sejumlah besar orang yang jauh
lebih cerdas daripada saya. Ibu saya pernah berharap bahwa saya bisa ranking
satu sekali saja saat SMA, namun tidak pernah kesampaian karena isi kelas saya
adalah orang-orang yang brilian. Lebih jauh lagi, saat masuk ke tahun ketiga,
entah bagaimana saya kecantol di satu dari dua kelas unggulan di sekolah…
Haha, jangankan ranking pertama,
masuk tiga besar saja sudah harus jumpalitan :D
Mungkin ibu saya adalah
satu-satunya ibu yang tidak bahagia saat anaknya masuk kelas unggulan, ahahaha
:p
In fact, most people see what they want to see, not what they need to
see.
Saat masuk kuliah, saya bertemu
dengan makin banyak orang yang jauh lebih cerdas daripada saya. Menjadi butiran
debu diantara orang cerdas bukan lagi hal yang aneh bagi saya saat itu :)
Entah bagaimana, saya menjadi
mahasiswa pertama di angkatan saya yang lulus ujian skripsi pada semester
ketujuh, 18 November 2008. Saya juga masih ingat ada seorang teman saya (yang
notabene SAMA SEKALI SELAMA 3,5 TAHUN tidak pernah menyapa saya) tetiba
mendatangi saya dan bilang begini, “Kok bisa sih kamu sudah ujian? Kok bisa?!”
dengan wajah masam dan jelas-jelas tidak rela saya ujian duluan. Yah maklum
sih, dari segi nilai, saya memang bukan apa-apa dibandingkan teman saya itu.
Tidak banyak yang tahu bahwa
saya sudah memulai penelitian di awal semester kelima, jadi wajar kan kalau
semester ketujuh saya sudah ujian?
Selama kuliah, saya orang yang
biasa-biasa saja, sama sekali bukan mahasiswa yang menonjol. Apalagi selama
masa koas, hahahaha XD sudah pernahkah saya bilang berapa kali saya kena
jackpot selama koas sehingga nilai saya banyak yang terjun payung?
Saya diterima sebagai mahasiswa
S2 sebelum saya lulus dokter. Lucunya, hal inipun juga membuat beeberapa teman
saya ngambek, entah kenapa, hahahaha XD
Seorang mahasiswa unggulan di
kelas saya bahkan sempat menunjuk-nunjuk saya sambil bilang, “Dia keterima S2?
Dia?!”
Laughable. Hahahahaha, masbulo
ane keterima sekolah lagi? XD
Saat saya diterima sebagai dosen
di tahun yang sama dengan saya keterima S2, banyak pihak yang menuding saya
diterima karena orang tua saya. It took all of my willpower not to kindly
deliver a deadly punch to anybody ever said that.
Lebih parah lagi ketika saya
keterima PNS, waow, santer sekali dugaan keterlibatan orang tua saya di balik
diterimanya saya menjadi PNS. Orang tua saya sama sekali bukan petinggi, fyi,
dan keluarga saya sama sekali bukan keluarga yang ingin saya mencapai sesuatu
dengan hal seperti itu.
Walaupun tidak bisa membuat
semua orang percaya tapi saya ingin menyatakan bahwa segala hal yang saya capai
saat ini adalah karena kerja keras saya.
Saya lulus S2 dengan nilai
cumlaude, yang sangat saya syukuri. Menurut saya, itu adalah hadiah yang bisa
saya berikan pada orang tua saya sejak saya tidak pernah lagi bisa menjadi ‘ranking
satu’ selepas lulus SMP.
Ada sinetron tersendiri di balik
nilai cumlaude saya, tentang bagaimana suka duka saya menghadapi penguji super
duper killer dan upaya saya untuk publikasi internasional agar saya bebas ujian
akhir tesis. Banyak orang mungkin hanya melihat gelar cumlaude di samping nilai
ijazah saya. Hanya sedikit yang menyaksikan bagaimana saya berjuang tetap
berdiri dan tersenyum saat penguji saya mempermalukan saya di seminar hasil
saya.
Tidak banyak juga yang tahu
bahwa selama S2 itulah saya mengalami banyak peristiwa yang merubah saya. Satu
kehilangan terbesar yang pernah saya alami terjadi pada masa menjelang proposal
tesis saya, dan sejujurnya saya butuh waktu sangat lama untuk bisa menerima
kenyataan.
Tidak banyak juga yang tahu
bahwa penelitian saya sempat gagal total sehingga saya harus mengkonsep ulang
dan melakukan percobaan ulang.
Tidak banyak juga yang tahu
bahwa mata kiri saya menjadi minus 5.25 karena sebuah kecelakaan saat saya
melakukan penelitian saya.
Yang banyak diketahui adalah
nilai saya, cumlaude.
One said, “I wish I could be you, someone who has almost everything,
who can get almost everything,”
Yah, itulah yang sering saya
dengar dari orang-orang di sekitar saya. Banyak yang ngefans sama saya, uhuk,
okelah, revisi, banyak yang mengagumi saya. Alhamdulillaah…
Walaupun kadang agak kurang
realistis sih…
Hehe, sesempurna apapun saya di
depan orang lain, tidak banyak yang tahu bahwa saya juga punya masa-masa dimana
saya merasa hopeless. Saya punya
masa-masa saat saya hanya ingin menyerah, hanya ingin menghilang, hanya ingin
lari dari segalanya. Saya punya masa-masa saat saya tidak tahu lagi apa yang
harus saya lakukan.
Saya punya masa-masa terburuk
dimana saya hanya bisa memeluk lutut tanpa bisa mengangkat kepala sedikitpun.
I am a human. I just… don’t like
to stay that way too long.
In fact, I lost many times, I cried many times.
Ada banyak kesempatan yang saya
lewatkan dalam masa setahun ini. Sebagiannya saya lewatkan dengan langkah yang…
yah, lumayan menyakitkan, hahaha :p
Kadang langkah saya berat karena
diri saya sendiri, kadang langkah saya berat karena tekanan dari sekitar saya.
Yah, dunia ini kadang kejam dan mematikan semua senyuman. Tapi sesungguhnya,
kebahagiaan adalah pilihan.
And being weak is not me. Saya
selalu berkata pada diri saya sendiri di saat saya gagal, “Masa lalu tidak bisa
diapa-apakan lagi, yang penting adalah bagaimana sekarang dan bagaimana besok,
apa yang harus dilakukan setelah ini,”. Memandang jauh ke depan adalah cara
saya menghadapi keburukan yang menimpa saya.
Tidak mudah memang, saya
membutuhkan waktu bertahun-tahun dan mengalami berpuluh-puluh hal yang membuat
saya broken-hearted untuk bisa memicu
otomatisasi otak saya untuk berpikir demikian. The strong me, is the result of
something else.
In fact, for me, a strong person is not someone who can hold on
perfectly, but someone who shows ability to accept whatever the fact and turn
it into strength. From rainfall, to rainbow.
Kita tidak perlu membuat semua
orang tahu apa hal baik dan apa hal buruk yang terjadi pada kita, karena toh
kita tidak akan bisa membuat semua orang memahami kita. Apa yang nampak baik di
mata orang lain mungkin tidak seindah itu di mata kita, dan sebaliknya.
Seperti apapun kita, pasti akan
selalu ada orang yang mendapatkan celah untuk mengatakan ‘sesuatu yang baik’
dan ‘sesuatu yang buruk’.
Saya berhenti untuk melihat kegagalan-kegagalan
saya sebagai hal yang melemahkan saya sejak berbulan-bulan yang lalu. Biarlah
kegagalan saya berlalu, karena saya yakin itulah cara-Nya membuat saya
melepaskan hal yang tidak membawa kebaikan bagi saya kedepannya.
Apapun penilaian orang lain,
baik atau buruk, kelewat baik atau kelewat buruk, saya sudah memutuskan untuk
tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut.
In fact, this is my life, mine to decide.
Kedepan, mungkin akan ada banyak
tantangan lagi yang menunggu saya, wow bahkan saya belum menyelesaikan pe-er
tantangan saya tahun ini, hahahaha :p
This year, surely I was bruised
a lot, well, with some avulsions too, but hey, I am still alive :)
Saat Ia membukakan jalan bagi
kita, maka Ia jugalah yang akan menunjukkan pada kita kemana kita sebaiknya melangkah.
In fact, after all the storms throughout this year, I have nothing to
be too afraid of. Maybe this is the reason why everyone keeps saying, “You are
strong,” which sounds silly for me. I am not that strong, though maybe I am presevere a little bit longer than most people.
Though maybe, I do have magic to turn rainfall into rainbow.
---
Bye 2014, thank you for all
great things.
#np Holding on and Letting Go ~
Ross Copperman