Sabtu, 31 Agustus 2013

Aku Pernah Dibully

Sejenak setelah re-run 35 Years Old High School Student, saya jadi ingat bahwa hal yang serupa juga pernah terjadi pada saya. Walaupun tingkat keparahannya sama-sekali tidak sebanding dengan yang saya lihat di drama tersebut sih...

Pembullyan nampak sangat memprihatinkan bagi sebagian besar orang. Mereka yang menonton sinetron atau drama pembullyan akan berkeluh kasihan dan berkaca-kaca, disertai hati mereka yang mencelos. Tapi segala perasaan itu takkan sebanding dengan apa yang dialami oleh korban bully.

Saya mungkin tampil sebagai orang yang ketawa-ketiwi ngalor-ngidul, bersikap enteng dan agak tidak pedulian. Orang mungkin melihat saya sebagai orang yang selalu beruntung dan tidak pernah susah.

Maka, bacalah tulisan ini.

……………………………………………………………………………………………….

Cerita ini berawal saat saya naik ke kelas 3 SMP. Setelah menduduki peringkat pertama paralel selama dua tahun berturut-turut, ‘revolusi’ pun terjadi…

Jika sebagian besar cerita akan menunjukkan pembullyan sesama murid, maka saya justru awalnya mengalami dari guru. Asal muasalnya? Karena saya menentang pernyataan seorang guru, sebut saja Bu M, yang menyebutkan bahwa film kartun itu haram. Beliau juga mengungkapkan bahwa segala bentuk seni rupa yang menyerupai makhluk hidup adalah haram.

Dan ketika semua murid lain diam menerima saja pernyataan tersebut, maka saya justru mengungkapkan ketidaksetujuan saya. Alasan saya simpel:
  1. Seni adalah cara manusia mengindahkan ciptaan Tuhan, maka kalau segalanya serba abstrak, hidup akan sangat membosankan
  2. Tidak ada bukti sejarah yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad, para sahabat Nabi dan anak-anak Nabi tidak pernah menggambar makhluk hidup
  3. (ini yang agak bikin Bu M sewot) apakah Ibu bisa menjamin bahwa seumur hidup ibu tidak pernah menggambar makhluk hidup, walopun itu coretan berbentuk cacing yang sedang melata atau sejenisnya?


Sebenarnya saya tidak pernah berniat menanyakan yang ketiga sih… Tapi berhubung setelah menanyakan pertanyaan kedua saya dibilang melanggar aturan agama jadi saya menanyakan pertanyaan ketiga, hahaha XD

Maka dimulailah edisi ‘pembalasan’ oleh Bu M terhadap saya.

Awal mulanya, saya dikasih sejumlah besar tulisan-tulisan majalah yang menyatakan bahwa film kartun itu haram. Tanggapan saya? Dengan entengnya saya justru menjawab, “Ibu, kenapa harus dilanjutkan sih? Buat apa ngasih saya beginian?”

Beliaunya?

Sewot, by any means necessary. Belum lagi karena saya tetap dengan tenangnya menghiasi pernak-pernik saya dengan hiasan kartun.

(kalau dipikir-pikir dengan akal sehat jenis manapun, kenapa sih seorang guru sampai sebegitunya menanggapi seorang murid? Belum lagi kalau muridnya tipikal yang selalu ‘nyrekal’ (berargumen, red) kalau diharuskan begini begitu. Mungkin akan lebih cocok kalau seorang guru berusia 38 tahun berhenti berargumen dengan seorang anak berusia 13 tahun…)

Tak lama berselang setelahnya, Bu M membuat sebuah pernyataan kontroversi: ‘nyontek itu halal’. Hebatnya, beliau berkoar tentang hal tersebut pada seluruh kelas yang ia ajar (beliau mengajar Bahasa Indonesia). Saya yang mendengar beliau mengatakan hal tersebut di kelas menjawab begini: “Bu, sejak kapan film kartun jadi haram sementara nyontek jadi halal? Ada ya di Al-Qur’an?”

Tapi yah… peperangan tidak seimbang tersebut dimenangi oleh Bu M. Entah bagaimana beliau berhasil memprovokasi teman-teman saya bahwa apa yang beliau katakan itu benar. Akibatnya, teman-teman saya memaksa saya untuk memberikan contekan pada mereka.

Tentu saja, saya menolak dengan keras… dan disitulah pembullyan saya dimulai.

Saya masih ingat saat teman-teman saya meneriaki saya sombong, pelit dan ingin pintar sendiri.
Saya juga masih ingat saat teman-teman saya ‘membuang’ saya dari pembagian kelompok kerja di kelas. Kebetulan (ini kebetulan apa bukan ya?) ada beberapa teman saya yang juga merupakan kumpulan orang ‘terbuang’ dari kelas. Maka dengan merekalah saya bergabung sebagai kelompok kerja.
Saya juga masih ingat saat saya lewat di depan kelas lain dan beberapa orang meneriaki saya, “Tahu gak? Anak itu lho gak mau nyontekin! Sok pinter sendiri!”
Saya juga masih ingat saat seorang teman dengan terang-terangan bilang ke saya, “Kamu tu gak ada apa-apanya sama temenku! Dia sekolah di SMP unggulan dan jauh lebih pinter daripada kamu!”
Saya juga masih ingat saat saya bergabung dalam pertandingan basket classmeeting dan atas sebuah sabotase saya gagal menangkap bola yang dioperkan ke saya. Saat itu, semua pemain lainnya (bahkan termasuk yang setim dengan saya) meneriaki saya dengan kata-kata yang menyakitkan (tidak saya tuliskan disini) dan sebagian besar penonton meneriakkan ‘huuuuuu…..!!!’ bersama-sama.
Saya masih ingat ketika gumpalan kertas dilemparkan ke kepala saya (yang selalu duduk di depan karena tubuh saya yang kecil) dan berisi tulisan ‘sombong!’, ‘jelek!’ dan sebagainya (hal ini tidak dalam kondisi guyon).

Hei, saya masih 13 tahun saat itu terjadi. Tahu sendiri kan psikis anak usia 13 tahun itu seperti apa? Sekuat-kuatnya saya, maka saya pun akhirnya nangis juga.

Saya sempat mogok sekolah selama dua hari. Sebenarnya tidak benar-benar mogok sih, tapi saya demam (mungkin juga kepikiran tentang yang terjadi di sekolah kali ya?). Saya sadar bahwa saya nyaris tidak punya teman di sekolah. Saya juga tidak lagi bisa mempercayai guru-guru saya, entah kenapa.

Saat akhirnya wali kelas saya, Pak S, dan orang tua saya berhasil membujuk saya untuk masuk sekolah, saya justru mendengar sendiri Bu M berbicara pada teman-teman saya untuk terus berusaha mengalahkan saya.
Pembicaraan itu saya dengar saat saya tanpa sengaja lewat ruang guru…

Saya tidak bisa mengingat dengan jelas seperti apa perasaan saya saat itu. Yang jelas, saya tidak pernah mengalami rasa sakit hati sesakit yang saya alami saat itu. Akibatnya, prestasi saya jeblok total. Dari yang biasanya saya selalu nangkring di ranking satu paralel selama dua tahun tak terkalahkan, maka di kelas 3 cawu pertama itu saya harus puas dengan duduk di ranking 4 kelas. Sama sekali tidak bisa masuk paralel.

Dan pembullyan terhadap saya menjadi makin parah.

Saya akui, Bu M memang hebat dengan membidik sisi psikologis saya yang masih labil sebagai abege.
Puncaknya adalah saat wakil kepala sekolah saya saat itu, Bu A, mendadak datang ke kelas dan menceritakan bahwa sekolah saya sedang diteror. Penerornya mengatakan bahwa teman saya yang menduduki ranking 1 paralel, sebut saja K, sebenarnya tidak pantas jadi ranking 1.
Saya masih ingat dengan jelas kata-kata, ekspresi wajah, nada suara dan segala yang terjadi saat itu. Bu A, dengan memandang lekat ke arah saya mengatakan, “Saya tahu pelakunya adalah orang tua dari siswa yang biasanya ranking 1 tapi mendadak rankingnya jeblok,”

Maka kali itu saya pulang berurai air mata…

Sinetron? Hahahaha XD well, itu kenyataan kok… tidak saya lebih-lebihkan.

Ibu saya pun akhirnya ‘ngamuk’ ke kepala sekolah setelah saya menceritakan perihal Bu A. Dengan sangat marah besar, ibu saya ‘ngamuk’ ke hampir semua guru di sekolah saya. Tapi lucunya, baik Bu M maupun Bu A tidak ada di tempat kejadian walaupun ibu saya sudah menantang mereka berdua untuk keluar dan berhadapan langsung dengan ibu saya.

Hari itu, hari dimana saya tahu bahwa ibu saya berlaku demikian pada guru-guru saya di sekolah, saya sadar bahwa saya juga tidak boleh diam menerima segala keadaan.
Saya sadar bahwa saya bukan hanya harus melawan, SAYA HARUS MENANG.

Maka sejak hari itu, perlahan-lahan, saya bangkit dan tidak sekedar membela diri, tapi saya berjanji akan mengalahkan siapapun di sekolah itu. Oh, kalau ingin saya menyebutkannya secara konkrit, saya benar-benar merealisasikan dengan tanpa ragu menginjak-nginjak perasaan mereka yang menginjak-injak perasaan saya. 
Sebut saja missal mereka berkata begini, “Sombong gak mau nyontekin!” maka jawaban saya adalah, “Salahmu jadi orang bodoh jadi perlu contekan!”
Atau saat ada yang berkata, “Kau tu gak ada apa-apanya dibandingin temenku yang sekolah di SMP ‘X’” maka jawaban saya adalah, “Cuman orang bodoh yang gak bisa mbandingin aku sama dirinya sendiri,”
Atau saat ada yang berkata, “Liat deh itu lho anak sombong,” maka jawaban saya adalah, “Liat deh itu lho anak gak mampu,”
Atau saat saya dilempar gumpalan kertas, maka saya tanpa membuka kertas itu akan meneriaki seluruh kelas (kalau perlu sambil gebrak meja) untuk menghadapi saya secara jantan kalau tidak mau dibilang pengecut (ini sempat nyaris jadi pemicu perkelahian antar saya dan seorang teman saya yang kebetulan laki-laki sampai harus dipisah oleh teman-teman dan wali kelas saya).

Tak hanya sekali saja saya menjawab hinaan mereka. Saya belajar untuk menjawab semua hinaan mereka sampai dengan mereka tidak lagi bisa menjawab balasan saya. Plus, saya selalu memilih kata-kata yang bisa ngejleb buat si penghina. Dengan selalu menjawab hinaan itu, pelan-pelan, pembullyan itu berhenti. Dengan catatan, bukan saya yang memulai lho...

Bagaimana dengan Bu M dan Bu A?

Saya sadar bahwa Bu M dan Bu A mungkin takut berhadapan dengan ibu saya, tapi tidak terhadap saya. Maka saya tahu saya tidak boleh tampak lemah, saya tidak boleh tampak takut dan saya harus bisa membalas saat mereka kembali mencoba menjatuhkan saya.

Cara bertahan adalah dengan belajar sebaik mungkin. Saya melahap sebanyak-banyaknya ilmu di buku pelajaran dan belajar menemukan hal untuk dikritisi dari sebuah penjelasan di buku. Saya melatih diri untuk menemukan hal yang perlu ditanyakan pada setiap penjelasan yang saya terima. Maka hasilnya?

Well, Bu A bukan guru biologi untuk kelas saya, tapi kadang-kadang beliau tetap masuk ke kelas sebagai wakil kepala sekolah. Salah satu hobinya adalah mempermalukan saya di kelas. 
Dia hobi memanggil saya ke depan dan menanyai saya pertanyaan-pertanyaan yang tidak akan bisa dijawab oleh murid SMP kelas 3. Setelah saya tidak bisa menjawab, beliau akan menjelaskan sambil berulang-ulang menyalahkan saya (“Kamu tu pinter tapi njawab gini saja gak bisa!”). 
Awalnya saya jengah, tapi lama-lama saya beradaptasi dan justru menggunakan penjelasan yang beliau sampaikan untuk mengajukan pertanyaan berkali-kali dan berkali-kali dan berkali-kali sampai beliau sebal, hahahahaha XD

Eh serius lho, beliau sampai pernah marah sama saya karena saya terus menerus bertanya, ehehehehe XD Lega gitu rasanya kalau beliau sampai kalah ngomong sama anak umur 13 tahun :D a real rebel, huh?

Sedangkan Bu M, juga tidak lagi mengajar kelas saya sejak ibu saya datang ke sekolah. Tapi satu dua kali dia menggantikan guru Bahasa Indonesia saya dan melakukan hal yang kurang lebih sama dengan Bu A. Saya sadar ilmu Bahasa Indonesia tidak seperti Biologi, dan saya harus bereksperimen untuk menentukan approach yang benar.
Beliau akan menceramahi kelas tentang masalah halal dan haram, sambil melirik saya tentunya. Awalnya saya merengut, tapi kemudian saya menemukan bahwa raut wajah beliau nampak senang saat lihat saya merengut, maka saya pun mencoba approach lain. 
Akhirnya, saya menemukan bahwa dengan menunjukkan wajah tidak peduli dan pasang lagak tidak mendengarkan sambil terus-menerus cengengesan, wajah beliau menjadi merah padam. Bwahahahaha XD Score!

Well, sorry, I am not an angelic student. You need a demon to beat a demon, right?

Nampak sebagai kemenangan kah?

Hmmm… yah lumayan sih… tapi di akhir cawu dua saya masih harus puas duduk di ranking kedua paralel.  Saya sadar bahwa selama cawu kedua saya terlalu fokus untuk membalas semua perlakuan jahat yang dilemparkan pada saya. 
Tapi, pembullyan terhadap saya sudah berhenti total saat saya memasuki cawu tiga dan tidak ada lagi teman yang berani mengomentari apapun yang saya lakukan, kecuali beberapa ekor yang kurang beruntung (baca: mengomentari saya dengan analisis keadaan yang kurang memadai sehingga saya bisa memutarbalikkan fakta menjadi merugikan buat dia dan menguntungkan buat saya).

Di cawu tiga, saya menunjukkan bahwa saya tidak perlu teman-teman palsu dan saya bisa berdiri sendiri. Saya tidak lagi khawatir tentang tidak dipilih oleh kelompok manapun saat ada pemilihan kelompok kerja. Tidak ada lagi yang berani meminta contekan pada saya dan hal tersebut sangat saya syukuri. Saya menetapkan tujuan saya berada disitu adalah lulus dan tidak untuk cari teman.

Independensi saya berbuah manis. Saya meraih predikat lulusan terbaik di akhir cawu tiga. Nilai saya kembali menjadi yang tertinggi di hampir semua bidang kecuali olahraga, hehehe…

Happy ending? Hahahaha XD

Not really, actually.

Jadi wali kelas dan guru BK saya (yang kebetulan menjadi ketua panitia di perpisahan sekolah) telah memberitahukan bahwa saya diberikan kesempatan untuk menyampaikan student speech sebagai perwakilan murid. Student speech akan disampaikan tepat sebelum tarian penutup. Alasan saya dipilih, seperti yang sudah disetujui pak kepala sekolah, adalah karena saya merupakan lulusan terbaik.

Maka tepat di acara terakhir sebelum student speech, saya pun bersiap di samping tangga bersama wali kelas saya sambil menunggu guru BK saya (yang bertindak sebagai MC) untuk kembali ke panggung dan memanggil saya. 
Namun ternyata Bu M naik ke panggung dan menyatakan bahwa student speech akan disampaikan oleh teman saya yang juara 3 pidato Kota Malang. Teman saya pun segera naik ke atas panggung dan dengan didampingi Bu M dia menyampaikan pidatonya sementara saya dan wali kelas saya bertukar pandang bingung.

Jahatnya, setelah student speech selesai, Bu M dengan tanpa memanggil MC, langsung memanggil tarian penutup dan menutup acara. Usut punya usut, tas guru BK saya (entah bagaimana) hilang sehingga beliau harus berjuang mencarinya karena dompetnya ada disitu. Kebetulan yang manis.

Well, saya menempatkan Bu M di deretan orang yang tidak bisa saya maafkan, fyi.

…………………………………………………………………………………………………….

Pengalaman menjadi sasaran selama kurang lebih lima bulan menjadi kenangan tersendiri buat saya. Pembullyan memang kejam. Mereka yang membully menemukan kenikmatan tersendiri saat yang dibully menjadi down. Bullying kadang tak diketahui guru karena pembully bisa memilih banyak waktu untuk menyembunyikan aksinya dari para guru. 

Di depan guru mungkin mereka nampak manis, tapi para korban bullying tahu seperti apa mereka yang asli.

Yang saya alami ini mungkin tak ada apa-apanya dibanding sekian banyak cerita bullying lainnya. Saya beruntung bahwa saya memiliki orang tua dan wali kelas yang mendukung saya, dan saya tahu tidak semua orang seberuntung saya. 
Selain itu, saya juga beruntung dikaruniai kecerdasan yang lebih dibandingkan teman-teman sekolah saya saat itu sehingga saya bisa menggunakannya sebagai senjata. Tapi apapun bentuknya, bullying ya tetap bullying.

Nah, pertanyaannya, apakah saya menyesali masa lalu saya?

Tidak.

Saya mungkin dulunya menyesal, saya mungkin dulunya sedih. Tapi hari ini, dua belas tahun setelah masa itu berlalu, saya tidak lagi menyesalinya. Saya juga tidak lagi merasa sedih maupun sakit hati saat mengingatnya karena toh saat ini saya bahagia. Saya bisa mengenang masa SMP saya tanpa ada rasa benci terhadap sekolah yang telah memberikan banyak ilmu berharga selama tiga tahun lamanya.

Saya mencintai SMP saya, dan saya bangga memiliki almamater tersebut. Lha wong waktu saya run 35 Years High School Student untuk pertama kalinya, saya tidak ingat hal yang terjadi di saya saat berusia 13 tahun kok... Lalu kenapa saya mendadak ingat? Wah... entah ya...

Bisa dibilang, sifat independen saya saat ini berakar dari yang saya alami saat usia saya 13 tahun. Dan saya senang menjadi independen. Sejak lulus SMP dan menjalani pendidikan selanjutnya, saya tidak pernah lagi mengkhawatirkan soal geng-geng-an. Saat teman-teman saya ribet soal nge-geng, saya sudah mampu berdiri sendiri tanpa kehilangan kemampuan untuk membaur dengan semua orang. 
Bahkan bisa dibilang, selama SMA saya justru punya banyak teman akrab yang berasal dari kelas yang berbeda. Dan selama kuliah, tiga sahabat terdekat saya juga berasal dari jurusan yang berbeda.

Saya tidak merasa harus menyesali pembullyan yang terjadi pada saya, karena hal tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah menjadikan saya sebagai diri saya saat ini.

Saya juga tidak lagi merasakan dendam atau apapun itu terhadap teman-teman yang membully saya saat itu (ada beberapa orang yang membully dengan amat sangat bersemangat lho...). Bukan apa-apa, saya sih tidak mau memenuhi kepala saya dengan ingatan mendalam tentang mereka. Cukuplah saya ingat, tapi tidak perlu dijadikan hal negatif. Lebih baik saya memenuhi ingatan saya tentang sahabat-sahabat 'beneran' yang saya temukan setelahnya. 

Tapi kadang saya penasaran juga sih... Bagaimana ya hidup mereka sekarang? Masihkah mereka suka membully orang lain atau tidak?

Well, whatever happens to them, my life is beautiful.

Akan selalu ada orang yang sirik terhadap kita, sebaik apapun kita telah berusaha untuk bersikap. Tanpa bermaksud memperbagus diri, saya sadar bahwa yang baik akan tetap menjadi baik, tak peduli seperti apa lingkungan menjelek-jelekkannya. Kita akan selalu punya kesempatan untuk merubah kelemahan kita menjadi kekuatan, dan akan selalu ada kesempatan untuk berhenti menjadi korban dan tampil menjadi pemenang. Hey, I AM smiling right now, to you :)

“…karena pada akhirnya, Tuhan-lah yang menilai, bukan manusia,”
(kata Kakek saya, suatu hari saat saya down)

…………………………………………………………………………………………………….

Epilog
Belum genap satu setengah tahun setelah saya lulus SMP, Bu M dipanggil menghadap Tuhan pada sebuah kecelakaan mobil. Beberapa bulan setelahnya, Bu A tersangkut kasus di Dinas P dan dimutasi ke sekolah terpencil. SMP saya mengalami perombakan struktural yang bermakna setelahnya dan tampil sebagai salah satu SMP terbaik di kota saya. Saat saya lulus SMA, adik saya diterima di SMP tersebut dan menjalani pendidikan dengan tenang. See? Happy ending! ^^

11 komentar:

  1. hemmmmmmmmmmm, koq jadi berat gini ya bahasannya? ga salah masuk blogkan aku? *dijitak*
    Ulama terdahulu sangat hati2 sekali dalam menentukan halal dan haram, mereka akan mengatakan lebih baik tidak boleh, dan itu membutuhkan waktu lama untuk memikirkannya.
    Yah, ini bisa dijadikan bahan pelajaran bagi kita untuk tidak terburu2 dlm menghakimi sesuatu... bukankah islam itu mempermudah? jadi ngapapin dibuat repot? okesip.

    BalasHapus
  2. wahhh ternyata Siennra punya masa lalu seperti ini juga ya,
    jadi ingat waktu masih kelas 1 SMP (pindahan dari kampung pula) teman sebangku diemin karena nggak mau kasih contekan padahal teman satu2nya hahaha, parahnya sih kelas 3 SMA menjelang ujian akhir, terbully dengan teman dekat sendiri dulu nangis sehari 2 malam n nggak masuk sekolah sehari tapi waktu ingat itu sekarang lucu aja hahaha

    BalasHapus
  3. boleh ni dibuat naskah dorama 12 episode....kalau diizinkan mau saya tulis bahan novel. #serius. :D

    saya dulu juga sering juara kelas, awal nya memang suka dikatain sombong dan pelit juga sih karena nggak mau ngasih contekan. tapi saya akali aja agar tidak dijauhi dengan menjadi ketua kelas, dulu ketua kelas kan memegang kendali dan keren.,.. #eeaaa.. #abaikan

    BalasHapus
  4. @all: hehehe... dramatisnya tidak terduga kah? bwahahahaha XD
    aku jarang nyeritain ini ke orang sih... takut kalo dijadiin inspirasi bikin pilem :D
    tapi ya asal royaltinya besar ya gakpapa sih *mendadak mata duitan*

    BalasHapus
  5. hmmm...
    aku dulu juga dibully sama guru waktu kelas 6 SD... nyangkut SARA..
    sampai sering nangis di kelas
    :(

    BalasHapus
  6. aku juga sering dibully
    aku juga nggak tau masalahnya

    BalasHapus
  7. Klo menurut pandangan aku,Terkadang orang yg lebih tua, merasa dia yg paling benar dan tidak boleh d tentang
    Mungkin siennra mengatakan pendapatnya kurang hati2, jg memicu kemarahan bu m
    Emang menyakitkan sih di bully , tp itu semacam cobaan yg bisa membuat kita semakin baik( tidak bermaksud menganjurkan pem- bully an)
    Mending di maafkan deh Bu M , apa lagi beliau sudah meninggal
    Salut deh sama Siennra yg bisa melewati nya
    Klo aku sendiri mungkin udah pindah sekolah

    BalasHapus
  8. tertarik sama ceritanya terus mo buat dialog , tapi bingung pas bagian debatnya bisa jelasin detailnya ga ?

    BalasHapus
  9. Masukkan komentar Anda... Saya sejak kecil sampai dewasa sering dibully. Penyebab nya.. Dulu saat saya msh kecil saya sering sakit sakitan shg otak saya jadi bodoh dan badan saya jadi lemah, shg saya kalau sekolah, kerja, olahraga, nyari jodoh, bergaul saya sering diremehkan org, dibodohi org, didiskriminasi org dll. Dulu guru SMA saya ada yg bilang otak dan tenaga saya payah, atasan saya ada yg bilang otak dan tenaga saya tdk memenuhi syarat utk bekerja, teman teman saya ada yg bilang saya bodoh dan lemah, ada yg bilang saya org aneh dan langka, ada yg bilang saya manusia setengah jadi, ada yg bilang saya tdk punya masa depan, ada yg bilang saya tdk berguna dll. Di kampung saya sering difitnah dan jelekin tetangga, dibenci dan dimusuhi teman. Mungkin mereka iri dan dengki dg hidup saya. Saat saya kerja di perantauan saya sering dihina org, ditipu org, dipukul org, difitnah org, ditolak cewek, diremehkan cewek, dimanfaatkan cewek dll. Kmdian saya pulang kampung saya malah nganggur dan jomblo sngt lama, lbh dari 10 thn. Tapi org org bukan kasihan dan bukan menolong saya tp mereka malah bilang hidup saya enak tiap hari cuma makan dan tidur saja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Persis kya gua nih, ceritanya

      Hapus
    2. Persis kya gua nih, ceritanya

      Hapus

terima kasih sudah membaca, have a good day!