Sejenak setelah re-run 35 Years Old High School Student, saya jadi
ingat bahwa hal yang serupa juga pernah terjadi pada saya. Walaupun tingkat
keparahannya sama-sekali tidak sebanding dengan yang saya lihat di drama
tersebut sih...
Pembullyan nampak sangat memprihatinkan
bagi sebagian besar orang. Mereka yang menonton sinetron atau drama pembullyan akan berkeluh kasihan dan
berkaca-kaca, disertai hati mereka yang mencelos. Tapi segala perasaan itu
takkan sebanding dengan apa yang dialami oleh korban bully.
Saya mungkin
tampil sebagai orang yang ketawa-ketiwi ngalor-ngidul, bersikap enteng dan agak
tidak pedulian. Orang mungkin melihat saya sebagai orang yang selalu beruntung
dan tidak pernah susah.
Maka, bacalah
tulisan ini.
……………………………………………………………………………………………….
Cerita ini
berawal saat saya naik ke kelas 3 SMP. Setelah menduduki peringkat pertama
paralel selama dua tahun berturut-turut, ‘revolusi’ pun terjadi…
Jika sebagian
besar cerita akan menunjukkan pembullyan
sesama murid, maka saya justru awalnya mengalami dari guru. Asal muasalnya?
Karena saya menentang pernyataan seorang guru, sebut saja Bu M, yang
menyebutkan bahwa film kartun itu haram. Beliau juga mengungkapkan bahwa segala
bentuk seni rupa yang menyerupai makhluk hidup adalah haram.
Dan ketika
semua murid lain diam menerima saja pernyataan tersebut, maka saya justru
mengungkapkan ketidaksetujuan saya. Alasan saya simpel:
- Seni adalah cara manusia mengindahkan ciptaan Tuhan, maka kalau segalanya serba abstrak, hidup akan sangat membosankan
- Tidak ada bukti sejarah yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad, para sahabat Nabi dan anak-anak Nabi tidak pernah menggambar makhluk hidup
- (ini yang agak bikin Bu M sewot) apakah Ibu bisa menjamin bahwa seumur hidup ibu tidak pernah menggambar makhluk hidup, walopun itu coretan berbentuk cacing yang sedang melata atau sejenisnya?
Sebenarnya
saya tidak pernah berniat menanyakan yang ketiga sih… Tapi berhubung setelah
menanyakan pertanyaan kedua saya dibilang melanggar aturan agama jadi saya
menanyakan pertanyaan ketiga, hahaha XD
Maka
dimulailah edisi ‘pembalasan’ oleh Bu M terhadap saya.
Awal mulanya,
saya dikasih sejumlah besar tulisan-tulisan majalah yang menyatakan bahwa film
kartun itu haram. Tanggapan saya? Dengan entengnya saya justru menjawab, “Ibu,
kenapa harus dilanjutkan sih? Buat apa ngasih saya beginian?”
Beliaunya?
Sewot, by any means necessary. Belum lagi
karena saya tetap dengan tenangnya menghiasi pernak-pernik saya dengan hiasan
kartun.
(kalau
dipikir-pikir dengan akal sehat jenis manapun, kenapa sih seorang guru sampai
sebegitunya menanggapi seorang murid? Belum lagi kalau muridnya tipikal yang
selalu ‘nyrekal’ (berargumen, red) kalau diharuskan begini begitu. Mungkin akan
lebih cocok kalau seorang guru berusia 38 tahun berhenti berargumen dengan
seorang anak berusia 13 tahun…)
Tak lama
berselang setelahnya, Bu M membuat sebuah pernyataan kontroversi: ‘nyontek itu
halal’. Hebatnya, beliau berkoar tentang hal tersebut pada seluruh kelas yang
ia ajar (beliau mengajar Bahasa Indonesia). Saya yang mendengar beliau
mengatakan hal tersebut di kelas menjawab begini: “Bu, sejak kapan film kartun
jadi haram sementara nyontek jadi halal? Ada ya di Al-Qur’an?”
Tapi yah…
peperangan tidak seimbang tersebut dimenangi oleh Bu M. Entah bagaimana beliau
berhasil memprovokasi teman-teman saya bahwa apa yang beliau katakan itu benar.
Akibatnya, teman-teman saya memaksa saya untuk memberikan contekan pada mereka.
Tentu saja,
saya menolak dengan keras… dan disitulah pembullyan
saya dimulai.
Saya masih
ingat saat teman-teman saya meneriaki saya sombong, pelit dan ingin pintar
sendiri.
Saya juga
masih ingat saat teman-teman saya ‘membuang’ saya dari pembagian kelompok kerja
di kelas. Kebetulan (ini kebetulan apa bukan ya?) ada beberapa teman saya yang
juga merupakan kumpulan orang ‘terbuang’ dari kelas. Maka dengan merekalah saya
bergabung sebagai kelompok kerja.
Saya juga
masih ingat saat saya lewat di depan kelas lain dan beberapa orang meneriaki
saya, “Tahu gak? Anak itu lho gak mau nyontekin! Sok pinter sendiri!”
Saya juga
masih ingat saat seorang teman dengan terang-terangan bilang ke saya, “Kamu tu
gak ada apa-apanya sama temenku! Dia sekolah di SMP unggulan dan jauh lebih
pinter daripada kamu!”
Saya juga
masih ingat saat saya bergabung dalam pertandingan basket classmeeting dan atas sebuah sabotase saya gagal menangkap bola
yang dioperkan ke saya. Saat itu, semua pemain lainnya (bahkan termasuk yang setim dengan saya) meneriaki saya dengan
kata-kata yang menyakitkan (tidak saya tuliskan disini) dan sebagian besar
penonton meneriakkan ‘huuuuuu…..!!!’ bersama-sama.
Saya masih
ingat ketika gumpalan kertas dilemparkan ke kepala saya (yang selalu duduk di
depan karena tubuh saya yang kecil) dan berisi tulisan ‘sombong!’, ‘jelek!’ dan
sebagainya (hal ini tidak dalam kondisi guyon).
Hei, saya
masih 13 tahun saat itu terjadi. Tahu sendiri kan psikis anak usia 13 tahun itu
seperti apa? Sekuat-kuatnya saya, maka saya pun akhirnya nangis juga.
Saya sempat
mogok sekolah selama dua hari. Sebenarnya tidak benar-benar mogok sih, tapi
saya demam (mungkin juga kepikiran tentang yang terjadi di sekolah kali ya?).
Saya sadar bahwa saya nyaris tidak punya teman di sekolah. Saya juga tidak lagi
bisa mempercayai guru-guru saya, entah kenapa.
Saat akhirnya
wali kelas saya, Pak S, dan orang tua saya berhasil membujuk saya untuk masuk
sekolah, saya justru mendengar sendiri Bu M berbicara pada teman-teman saya untuk
terus berusaha mengalahkan saya.
Pembicaraan
itu saya dengar saat saya tanpa sengaja lewat ruang guru…
Saya tidak
bisa mengingat dengan jelas seperti apa perasaan saya saat itu. Yang jelas,
saya tidak pernah mengalami rasa sakit hati sesakit yang saya alami saat itu.
Akibatnya, prestasi saya jeblok total. Dari yang biasanya saya selalu nangkring
di ranking satu paralel selama dua tahun tak terkalahkan, maka di kelas 3 cawu
pertama itu saya harus puas dengan duduk di ranking 4 kelas. Sama sekali tidak
bisa masuk paralel.
Dan pembullyan terhadap saya menjadi makin
parah.
Saya akui, Bu
M memang hebat dengan membidik sisi psikologis saya yang masih labil sebagai
abege.
Puncaknya
adalah saat wakil kepala sekolah saya saat itu, Bu A, mendadak datang ke kelas
dan menceritakan bahwa sekolah saya sedang diteror. Penerornya mengatakan bahwa
teman saya yang menduduki ranking 1 paralel, sebut saja K, sebenarnya tidak
pantas jadi ranking 1.
Saya masih
ingat dengan jelas kata-kata, ekspresi wajah, nada suara dan segala yang
terjadi saat itu. Bu A, dengan memandang lekat ke arah saya mengatakan, “Saya
tahu pelakunya adalah orang tua dari siswa yang biasanya ranking 1 tapi
mendadak rankingnya jeblok,”
Maka kali itu saya pulang berurai air
mata…
Sinetron?
Hahahaha XD well, itu kenyataan kok…
tidak saya lebih-lebihkan.
Ibu saya pun
akhirnya ‘ngamuk’ ke kepala sekolah setelah saya menceritakan perihal Bu A.
Dengan sangat marah besar, ibu saya ‘ngamuk’ ke hampir semua guru di sekolah
saya. Tapi lucunya, baik Bu M maupun Bu A tidak ada di tempat kejadian walaupun
ibu saya sudah menantang mereka berdua untuk keluar dan berhadapan langsung
dengan ibu saya.
Hari itu,
hari dimana saya tahu bahwa ibu saya berlaku demikian pada guru-guru saya di
sekolah, saya sadar bahwa saya juga tidak boleh diam menerima segala keadaan.
Saya sadar
bahwa saya bukan hanya harus melawan, SAYA HARUS MENANG.
Maka sejak
hari itu, perlahan-lahan, saya bangkit dan tidak sekedar membela diri, tapi
saya berjanji akan mengalahkan siapapun di sekolah itu. Oh, kalau
ingin saya menyebutkannya secara konkrit, saya benar-benar merealisasikan
dengan tanpa ragu menginjak-nginjak perasaan mereka yang menginjak-injak
perasaan saya.
Sebut saja missal mereka berkata begini, “Sombong gak mau
nyontekin!” maka jawaban saya adalah, “Salahmu jadi orang bodoh jadi perlu
contekan!”
Atau saat ada
yang berkata, “Kau tu gak ada apa-apanya dibandingin temenku yang sekolah di
SMP ‘X’” maka jawaban saya adalah, “Cuman orang bodoh yang gak bisa mbandingin
aku sama dirinya sendiri,”
Atau saat ada
yang berkata, “Liat deh itu lho anak sombong,” maka jawaban saya adalah, “Liat
deh itu lho anak gak mampu,”
Atau saat
saya dilempar gumpalan kertas, maka saya tanpa membuka kertas itu akan
meneriaki seluruh kelas (kalau perlu sambil gebrak meja) untuk menghadapi saya
secara jantan kalau tidak mau dibilang pengecut (ini sempat nyaris jadi pemicu
perkelahian antar saya dan seorang teman saya yang kebetulan laki-laki sampai
harus dipisah oleh teman-teman dan wali kelas saya).
Tak hanya
sekali saja saya menjawab hinaan mereka. Saya belajar untuk menjawab semua
hinaan mereka sampai dengan mereka tidak lagi bisa menjawab balasan saya. Plus,
saya selalu memilih kata-kata yang bisa ngejleb
buat si penghina. Dengan selalu menjawab hinaan itu, pelan-pelan, pembullyan itu berhenti. Dengan catatan, bukan saya yang memulai lho...
Bagaimana
dengan Bu M dan Bu A?
Saya sadar
bahwa Bu M dan Bu A mungkin takut berhadapan dengan ibu saya, tapi tidak terhadap
saya. Maka saya tahu saya tidak boleh tampak lemah, saya tidak boleh tampak
takut dan saya harus bisa membalas saat mereka kembali mencoba menjatuhkan
saya.
Cara bertahan adalah dengan belajar sebaik mungkin. Saya melahap sebanyak-banyaknya ilmu di buku pelajaran dan belajar menemukan hal untuk dikritisi dari sebuah penjelasan di buku. Saya melatih diri untuk menemukan hal yang perlu ditanyakan pada setiap penjelasan yang saya terima. Maka hasilnya?
Well, Bu A bukan guru biologi untuk
kelas saya, tapi kadang-kadang beliau tetap masuk ke kelas sebagai wakil kepala
sekolah. Salah satu hobinya adalah mempermalukan saya di kelas.
Dia hobi
memanggil saya ke depan dan menanyai saya pertanyaan-pertanyaan yang tidak akan
bisa dijawab oleh murid SMP kelas 3. Setelah saya tidak bisa menjawab, beliau
akan menjelaskan sambil berulang-ulang menyalahkan saya (“Kamu tu pinter tapi
njawab gini saja gak bisa!”).
Awalnya saya jengah, tapi lama-lama saya
beradaptasi dan justru menggunakan penjelasan yang beliau sampaikan untuk
mengajukan pertanyaan berkali-kali dan berkali-kali dan berkali-kali sampai
beliau sebal, hahahahaha XD
Eh serius
lho, beliau sampai pernah marah sama saya karena saya terus menerus bertanya,
ehehehehe XD Lega gitu rasanya kalau beliau sampai kalah ngomong sama anak umur
13 tahun :D a real rebel, huh?
Sedangkan Bu
M, juga tidak lagi mengajar kelas saya sejak ibu saya datang ke sekolah. Tapi
satu dua kali dia menggantikan guru Bahasa Indonesia saya dan melakukan hal
yang kurang lebih sama dengan Bu A. Saya sadar ilmu Bahasa Indonesia tidak seperti Biologi, dan saya harus bereksperimen untuk menentukan approach yang benar.
Beliau akan menceramahi kelas tentang
masalah halal dan haram, sambil melirik saya tentunya. Awalnya saya merengut,
tapi kemudian saya menemukan bahwa raut wajah beliau nampak senang saat lihat
saya merengut, maka saya pun mencoba approach
lain.
Akhirnya, saya menemukan bahwa dengan menunjukkan wajah tidak peduli dan
pasang lagak tidak mendengarkan sambil terus-menerus cengengesan, wajah beliau
menjadi merah padam. Bwahahahaha XD Score!
Well, sorry, I am not an angelic student. You need a demon to beat a demon, right?
Nampak
sebagai kemenangan kah?
Hmmm… yah
lumayan sih… tapi di akhir cawu dua saya masih harus puas duduk di ranking
kedua paralel. Saya sadar bahwa selama
cawu kedua saya terlalu fokus untuk membalas semua perlakuan jahat yang
dilemparkan pada saya.
Tapi, pembullyan terhadap saya sudah berhenti total saat saya memasuki cawu
tiga dan tidak ada lagi teman yang berani mengomentari apapun yang saya
lakukan, kecuali beberapa ekor yang kurang beruntung (baca: mengomentari saya
dengan analisis keadaan yang kurang memadai sehingga saya bisa memutarbalikkan
fakta menjadi merugikan buat dia dan menguntungkan buat saya).
Di cawu tiga,
saya menunjukkan bahwa saya tidak perlu teman-teman palsu dan saya bisa berdiri
sendiri. Saya tidak lagi khawatir tentang tidak dipilih oleh kelompok manapun
saat ada pemilihan kelompok kerja. Tidak ada lagi yang berani meminta contekan
pada saya dan hal tersebut sangat saya syukuri. Saya menetapkan tujuan saya
berada disitu adalah lulus dan tidak untuk cari teman.
Independensi
saya berbuah manis. Saya meraih predikat lulusan terbaik di akhir cawu tiga.
Nilai saya kembali menjadi yang tertinggi di hampir semua bidang kecuali
olahraga, hehehe…
Happy ending? Hahahaha XD
Not really, actually.
Jadi wali
kelas dan guru BK saya (yang kebetulan menjadi ketua panitia di perpisahan
sekolah) telah memberitahukan bahwa saya diberikan kesempatan untuk
menyampaikan student speech sebagai
perwakilan murid. Student speech akan
disampaikan tepat sebelum tarian penutup. Alasan saya dipilih, seperti yang
sudah disetujui pak kepala sekolah, adalah karena saya merupakan lulusan
terbaik.
Maka tepat di
acara terakhir sebelum student speech,
saya pun bersiap di samping tangga bersama wali kelas saya sambil menunggu guru
BK saya (yang bertindak sebagai MC) untuk kembali ke panggung dan memanggil
saya.
Namun ternyata Bu M naik ke panggung dan menyatakan bahwa student speech akan disampaikan oleh
teman saya yang juara 3 pidato Kota Malang. Teman saya pun segera naik ke atas
panggung dan dengan didampingi Bu M dia menyampaikan pidatonya sementara saya
dan wali kelas saya bertukar pandang bingung.
Jahatnya,
setelah student speech selesai, Bu M
dengan tanpa memanggil MC, langsung memanggil tarian penutup dan menutup acara.
Usut punya usut, tas guru BK saya (entah bagaimana) hilang sehingga beliau
harus berjuang mencarinya karena dompetnya ada disitu. Kebetulan yang manis.
Well, saya menempatkan Bu M di deretan
orang yang tidak bisa saya maafkan, fyi.
…………………………………………………………………………………………………….
Pengalaman
menjadi sasaran selama kurang lebih lima bulan menjadi kenangan tersendiri buat
saya. Pembullyan memang kejam. Mereka
yang membully menemukan kenikmatan
tersendiri saat yang dibully menjadi down. Bullying kadang tak diketahui guru karena pembully bisa memilih banyak waktu untuk menyembunyikan aksinya dari
para guru.
Di depan guru mungkin mereka nampak manis, tapi para korban bullying tahu seperti apa mereka yang
asli.
Yang saya
alami ini mungkin tak ada apa-apanya dibanding sekian banyak cerita bullying lainnya. Saya beruntung bahwa
saya memiliki orang tua dan wali kelas yang mendukung saya, dan saya tahu tidak
semua orang seberuntung saya.
Selain itu, saya juga beruntung dikaruniai kecerdasan yang lebih dibandingkan teman-teman sekolah saya saat itu
sehingga saya bisa menggunakannya sebagai senjata. Tapi apapun bentuknya, bullying ya tetap bullying.
Nah,
pertanyaannya, apakah saya menyesali masa lalu saya?
Tidak.
Saya mungkin
dulunya menyesal, saya mungkin dulunya sedih. Tapi hari ini, dua belas tahun
setelah masa itu berlalu, saya tidak lagi menyesalinya. Saya juga tidak lagi merasa
sedih maupun sakit hati saat mengingatnya karena toh saat ini saya bahagia.
Saya bisa mengenang masa SMP saya tanpa ada rasa benci terhadap sekolah yang
telah memberikan banyak ilmu berharga selama tiga tahun lamanya.
Saya
mencintai SMP saya, dan saya bangga memiliki almamater tersebut. Lha wong waktu saya run 35 Years High School Student untuk pertama kalinya, saya tidak ingat hal yang terjadi di saya saat berusia 13 tahun kok... Lalu kenapa saya mendadak ingat? Wah... entah ya...
Bisa dibilang,
sifat independen saya saat ini berakar dari yang saya alami saat usia saya 13
tahun. Dan saya senang menjadi independen. Sejak lulus SMP dan menjalani
pendidikan selanjutnya, saya tidak pernah lagi mengkhawatirkan soal
geng-geng-an. Saat teman-teman saya ribet soal nge-geng, saya sudah mampu
berdiri sendiri tanpa kehilangan kemampuan untuk membaur dengan semua orang.
Bahkan bisa dibilang, selama SMA saya justru punya banyak teman akrab yang
berasal dari kelas yang berbeda. Dan selama kuliah, tiga sahabat terdekat saya
juga berasal dari jurusan yang berbeda.
Saya tidak
merasa harus menyesali pembullyan
yang terjadi pada saya, karena hal tersebut, baik secara langsung maupun tidak
langsung, telah menjadikan saya sebagai diri saya saat ini.
Saya juga tidak lagi merasakan dendam atau apapun itu terhadap teman-teman yang membully saya saat itu (ada beberapa orang yang membully dengan amat sangat bersemangat lho...). Bukan apa-apa, saya sih tidak mau memenuhi kepala saya dengan ingatan mendalam tentang mereka. Cukuplah saya ingat, tapi tidak perlu dijadikan hal negatif. Lebih baik saya memenuhi ingatan saya tentang sahabat-sahabat 'beneran' yang saya temukan setelahnya.
Tapi kadang saya penasaran juga sih... Bagaimana ya hidup mereka sekarang? Masihkah mereka suka membully orang lain atau tidak?
Well, whatever happens to them, my life is beautiful.
Saya juga tidak lagi merasakan dendam atau apapun itu terhadap teman-teman yang membully saya saat itu (ada beberapa orang yang membully dengan amat sangat bersemangat lho...). Bukan apa-apa, saya sih tidak mau memenuhi kepala saya dengan ingatan mendalam tentang mereka. Cukuplah saya ingat, tapi tidak perlu dijadikan hal negatif. Lebih baik saya memenuhi ingatan saya tentang sahabat-sahabat 'beneran' yang saya temukan setelahnya.
Tapi kadang saya penasaran juga sih... Bagaimana ya hidup mereka sekarang? Masihkah mereka suka membully orang lain atau tidak?
Well, whatever happens to them, my life is beautiful.
Akan selalu ada
orang yang sirik terhadap kita, sebaik apapun kita telah berusaha untuk
bersikap. Tanpa bermaksud memperbagus diri, saya sadar bahwa yang baik akan
tetap menjadi baik, tak peduli seperti apa lingkungan menjelek-jelekkannya.
Kita akan selalu punya kesempatan untuk merubah kelemahan kita menjadi
kekuatan, dan akan selalu ada kesempatan untuk berhenti menjadi korban dan
tampil menjadi pemenang. Hey, I AM
smiling right now, to you :)
“…karena
pada akhirnya, Tuhan-lah yang menilai, bukan manusia,”
(kata
Kakek saya, suatu hari saat saya down)
…………………………………………………………………………………………………….
Epilog:
Belum
genap satu setengah tahun setelah saya lulus SMP, Bu M dipanggil menghadap Tuhan pada sebuah kecelakaan
mobil. Beberapa bulan setelahnya, Bu A tersangkut kasus di Dinas P dan
dimutasi ke sekolah terpencil. SMP saya mengalami perombakan struktural yang
bermakna setelahnya dan tampil sebagai salah satu SMP terbaik di kota saya.
Saat saya lulus SMA, adik saya diterima di SMP tersebut dan menjalani
pendidikan dengan tenang. See? Happy ending!
^^
hemmmmmmmmmmm, koq jadi berat gini ya bahasannya? ga salah masuk blogkan aku? *dijitak*
BalasHapusUlama terdahulu sangat hati2 sekali dalam menentukan halal dan haram, mereka akan mengatakan lebih baik tidak boleh, dan itu membutuhkan waktu lama untuk memikirkannya.
Yah, ini bisa dijadikan bahan pelajaran bagi kita untuk tidak terburu2 dlm menghakimi sesuatu... bukankah islam itu mempermudah? jadi ngapapin dibuat repot? okesip.
wahhh ternyata Siennra punya masa lalu seperti ini juga ya,
BalasHapusjadi ingat waktu masih kelas 1 SMP (pindahan dari kampung pula) teman sebangku diemin karena nggak mau kasih contekan padahal teman satu2nya hahaha, parahnya sih kelas 3 SMA menjelang ujian akhir, terbully dengan teman dekat sendiri dulu nangis sehari 2 malam n nggak masuk sekolah sehari tapi waktu ingat itu sekarang lucu aja hahaha
boleh ni dibuat naskah dorama 12 episode....kalau diizinkan mau saya tulis bahan novel. #serius. :D
BalasHapussaya dulu juga sering juara kelas, awal nya memang suka dikatain sombong dan pelit juga sih karena nggak mau ngasih contekan. tapi saya akali aja agar tidak dijauhi dengan menjadi ketua kelas, dulu ketua kelas kan memegang kendali dan keren.,.. #eeaaa.. #abaikan
@all: hehehe... dramatisnya tidak terduga kah? bwahahahaha XD
BalasHapusaku jarang nyeritain ini ke orang sih... takut kalo dijadiin inspirasi bikin pilem :D
tapi ya asal royaltinya besar ya gakpapa sih *mendadak mata duitan*
hmmm...
BalasHapusaku dulu juga dibully sama guru waktu kelas 6 SD... nyangkut SARA..
sampai sering nangis di kelas
:(
aku juga sering dibully
BalasHapusaku juga nggak tau masalahnya
Klo menurut pandangan aku,Terkadang orang yg lebih tua, merasa dia yg paling benar dan tidak boleh d tentang
BalasHapusMungkin siennra mengatakan pendapatnya kurang hati2, jg memicu kemarahan bu m
Emang menyakitkan sih di bully , tp itu semacam cobaan yg bisa membuat kita semakin baik( tidak bermaksud menganjurkan pem- bully an)
Mending di maafkan deh Bu M , apa lagi beliau sudah meninggal
Salut deh sama Siennra yg bisa melewati nya
Klo aku sendiri mungkin udah pindah sekolah
tertarik sama ceritanya terus mo buat dialog , tapi bingung pas bagian debatnya bisa jelasin detailnya ga ?
BalasHapusMasukkan komentar Anda... Saya sejak kecil sampai dewasa sering dibully. Penyebab nya.. Dulu saat saya msh kecil saya sering sakit sakitan shg otak saya jadi bodoh dan badan saya jadi lemah, shg saya kalau sekolah, kerja, olahraga, nyari jodoh, bergaul saya sering diremehkan org, dibodohi org, didiskriminasi org dll. Dulu guru SMA saya ada yg bilang otak dan tenaga saya payah, atasan saya ada yg bilang otak dan tenaga saya tdk memenuhi syarat utk bekerja, teman teman saya ada yg bilang saya bodoh dan lemah, ada yg bilang saya org aneh dan langka, ada yg bilang saya manusia setengah jadi, ada yg bilang saya tdk punya masa depan, ada yg bilang saya tdk berguna dll. Di kampung saya sering difitnah dan jelekin tetangga, dibenci dan dimusuhi teman. Mungkin mereka iri dan dengki dg hidup saya. Saat saya kerja di perantauan saya sering dihina org, ditipu org, dipukul org, difitnah org, ditolak cewek, diremehkan cewek, dimanfaatkan cewek dll. Kmdian saya pulang kampung saya malah nganggur dan jomblo sngt lama, lbh dari 10 thn. Tapi org org bukan kasihan dan bukan menolong saya tp mereka malah bilang hidup saya enak tiap hari cuma makan dan tidur saja.
BalasHapusPersis kya gua nih, ceritanya
HapusPersis kya gua nih, ceritanya
Hapus