“wi, kamu dapet undian nomor 16 ya?”
“iya, nis, kenapa?”
“kita solmeett! Aku juga nomor 16,”
“oh yaaa?”
Itulah sepenggal pembicaraan saya dengan Anis, tanggal 10 September 2009,
Hari itu adalah hari pembagian kelompok koas (istilah kami: soulmate koas; koas = coass = coschap = dokter muda), dan saya beserta seluruh teman-teman yang baru saja yudisium sudah harap-harap cemas,
Why?
Karena solmet koas tidak cuma berlaku pada lab pertama saja, tapi juga seterusnya selama 2 tahun kita bakalan terikat satu sama lain di lab yang sama terus,
Solmet koas saya adalah Anis, teman saya dari Malaysia,
Saya pertama kali kenal dia saat kami sama-sama daftar ulang di FKUB, waktu itu sekitar bulan Agustus 2005,
Kami sempat ngobrol beberapa saat waktu itu dan saya (waktu itu) langsung menebak dia berasal dari Malaysia karena logatnya yang sangat berbeda dan kental sekali aksen Melayu-nya,
Selama empat tahun kuliah kami tidak pernah benar-benar berinteraksi satu sama lain, paling-paling hanya saling menyapa tiap kali bertemu di kampus, karena kami juga beda kelas,
Bahkan saat saya clerkship (observer di RS sebelum koas) kami juga tidak pernah sekelompok,
Plus, bahkan saat kita sudah “resmi” menjadi solmet dan menjalani Kepaniteraan Umum (Panum), kami juga tidak pernah sekelompok sama- sekali,
Semua berubah saat kami sama-sama masuk koas,
Waktu itu lab pertama kami adalah Lab Ilmu Penyakit Dalam alias IPD, yang terkenal karena KESANGARANNYA, hehehe…
Seakan belum cukup jackpot, kami berdua ketiban duren jaga di hari pertama pula,
Hahahaha, semalaman*kami nyaris ndak tidur lho (maklum koas hari pertama, masih fisiol dan serba takut, di IPD pula),
Saya masih ingat malam itu saya dan Anis sama-sama saling mbantuin satu sama lain, karena ruangan in charge kami sebelahan,
Saat saya ndak sibuk, saya ‘menjenguk’ Anis, dan sebaliknya,
Perjalanan kami di IPD pun berjalan cukup mulus, dan ikatan antara saya dan Anis sudah mulai terbentuk,
Kami juga sempat menjalani stase luar bersama Zanna (teman saya yang juga dari Malaysia) ke RSUD Wlingi selama seminggu,
Lepas IPD, kami berdua sempat berharap bakal memiliki soulgroup (beberapa pasang solmet yang tetep sama-sama terus labnya selama koas), tapi ternyata kami termasuk salah satu dari sedikit solmet koas yang tidak punya soulgroup,
Saya dan Anis terpisah dari teman-teman saya yang l`in dan nyangsang di Lab THT (Telinga Hidung Tenggorok), sedangkan delapan teman saya lain (yang sebelumnya sama-sama masuk IPD) masuk ke lab-lab lain,
Selama di THT, ada dua orang kakak kelas kami (keduanya solmetan) yang akrab banget satu sama lain satu sama lain, mereka tidak pernah menggunakan nama untuk memanggil solmetnya, melainkan saling memanggil dengan kata “solmet”,
Entah bagaimana saya dan Anis lama-lama ketularan,
Kami pun lama-lama lupa cara memanggil nama satu sama lain dan saling memanggil “solmet” :’)
Perjalanan kami pun berlanjut terus sebagai solmet koas tanpa soulgroup,
IPD-THT-Obgyn-Kulit-Mata-Neuro-Bedah-IKA-Psikiatri-EM-Radiologi-Forensik-PublicHealth-Anestesi-RehabMedik
Awalnya sih, saya merasa kesepian dan sedikit ngiri dengan teman-teman saya yang punya soulgroup, tapi lama kelamaan saya terbiasa share segala sesuatunya dengaan Anis,
Kami belajar saling melindungi dan saling membantu satu sama lain,
Maklum, kami kan cuman berdua diantara arus dunia koas *mulai deh lebai*
Anis itu,
Bisa dibilang rajin, bisa dibilang enggak, hehehe… tapi, kalau mood-nya sedang bagus, dijamin dia bisa jauh lebih rajin daripada saya, terbukti pas IPD dulu, dia bisa maju responsi jauh lebih awal daripada saya,
Anis juga tahu segala sisi dari diri saya,
Rajin malesnya, senang sedihnya, hal-hal yang membuat saya termotivasi maupun demotivasi, dan juga bagaimana caranya membuat saya yang sedih tertawa lagi,
Anis adalah yang ada di samping saya ketika saya kena sebuah masalah di salah satu Lab besar di RS (yang masih membuat saya super sensi kalau lab itu disebut),
Waktu itu saya dan seorang teman saya disalahkan atas kesalahan yang tidak kami lakukan, nilai kami diperosotin ke bawah dan akhirnya saya harus puas dengan nilai C+ (teman saya malah tidak diluluskan),
Waktu itu saya sedih sekali, marah sekali, tapi sebagai koas, saya tahu saya bukan siapa-siapa, dan apapun yang saya proteskan malah dapat semakin menjatuhkan saya,
Anis-lah yang ada di samping saya waktu itu,
Anis juga tahu bahwa saya bukan tipikal yang butuh nasehat mellow saat saya mellow,
Seringkali, dia malah melontarkan joke-joke yang membuat saya ketawa ngakak dan lupa bahwa saya tadinya sedang nyungsep nahan nangis, hahaha XD
Dia memberikan warna lain dalam kehidupan saya, approach yang dia berikan tu aneh tapi mengena di hati,
Seperti saat saya tidak jadi dengan orang yang terlanjur dekat dengan saya (sampe sudah saya kenalin ibu saya di rumah lhoo), saya sedih banget waktu itu, sampai lupa caranya senyum,
Anis dengan santainya bilang, “Ah, lebai kamu wi, cowok tu masih banyak. Ngapain juga kamu sedih gara-gara dia? Percuma itu! Percumaaaa..!!”
Dan, bukannya tambah sedih, saya malah ketawa,
Apa ya yang mbuat saya ketawa? Hmmm… saya juga ndak tahu apa yang bisa membuat saya ketawa dengar kata-katanya waktu itu,
Mungkin karena gesture Anis waktu itu meyakinkan banget jadinya saya tersentuh,
Atau mungkin karena Anis adalah satu-satunya orang yang berkata saya ‘lebai’,
Atau mungkin juga karena logat Anis sudah ketularan logat saya, hahahaha XD
Yupi, logat Anis semakin lama semakin mirip logat saya,
Bahkan, saat kami stase Public Health di Puskesmas Tump*ng, Kabupaten Malang, para perawat disana sempat bilang pada saya, “Mbak Anis itu, seandainya ndak bilang kalau dia orang Malaysia, pasti saya kirain orang Jawa, soalnya logatnya itu lho, sama kayak logat orang sini,”
Saya pun tertawa kecil mendengar hal tersebut,
Anis juga sudah fasih mengucapkan beberapa kata bahasa Jawa sederhana, seperti halnya “monggo,”, “nggih,” dan “maturnuwun,”, walaupun masih agak sedikit kaku kalau bilang “mboten,” (yang membuat saya, Rieza, Adrian dan Anang, yang sama-sama di Puskesmas yang sama, tersenyum ketika dengar),
Anis juga sering sekali telepon lamaaaaaaa banget dengan pacarnya di Malaysia sana, Hafizi namanya, sekarang ini calon suaminya :)
Naaaahhh, kalau pas telepon Hafizi ini nih, logat Malaysia-nya balik 100%, hahahaha XD
Saya pernah dikenalkan dengan Hafizi saat Hafizi main ke Indonesia, dan kami mengajak dia ke Puskesmas,
Jujur ya, menurut saya wajah Anis sama Hafizi itu mirip, cuman mungkin warna kulitnya aja yang agak beda, hehehe :D
Karena sering kemana-mana sama Anis, saya pun lama-lama bisa mengikuti bahasa Malay yang diucapkan Anis dan teman-teman saya yang lain dari Malaysia,
Walaupun saya masih tidak bisa mengucapkannya, tapi saya paham apa yang mereka bicarakan, termasuk yang dibicarakan Anis dengan Hafizi, hehehehe XD
Anis adalah pribadi yang easygoing, dan inilah yang BANYAK menular pada saya,
Semakin lama saya bersama Anis, semakin banyak sifat-sifatnya yang saya adopsi untuk menggantikan pribadi introvert saya,
Sedikit demi sedikit, saya belajar untuk menikmati kehidupan dan segala lika-liku di dalamnya,
Lewat solmet saya ini juga, saya belajar bahwa ada hal-hal yang harus kita khawatirkan, dan ada hal-hal yang harus kita biarkan terjadi dengan sendirinya,
Anis juga menunjukkan pada saya bahwa selalu ada alasan untuk tetap optimis dan tersenyum, walaupun mungkin besok adalah hari pembantaian *nah kan? lebai!*
Saya menjadi pribadi yang ekstrovert seperti sekarang, sedikit banyak (banyak sih sebenarnya) adalah karena saya setiap hari ter-ekspose dengan keberadaan Anis di samping saya,
Jadi, jika ada dua orang yang paling berpengaruh dalam merubah kepribadian saya, itu adalah Ibu saya dan Anis :’)
Ada saat-saat dimana Anis sedih, yaitu saat dia rindu keluarganya di Malaysia,
Beberapa kali dia bercerita pada saya, “Tadi malam aku telepon ibuku, dan aku nangiiiiiiissss…”
Wah kalau sudah seperti itu saya jadi bingung, karena saya tidak tahu apa yang harus saya katakan ke Anis,
Saya tinggal bersama orang tua saya dan setiap hari bertemu mereka, sedangkan Anis, tak hanya terpisah kota, ia juga tinggal di negara yang berbeda dari orang tuanya, sehingga saya selalu merasa bahwa apapun yang saya katakan tidak akan bisa menyamai perasaan Anis saat itu,
Jadi, setiap kali Anis sedih, saya berusaha sebaik saya menjadi pendengar yang baik dan balik melontarkan joke dengan harapan dia bisa tersenyum lagi,
Dua tahun, kami menjalani kehidupan koas kami bersama-sama,
Senang sedih banyak kami lalui sama-sama,
Patol fisiol pernah kami coba sama-sama juga (eh?)
Lapar kenyang juga sudah kami jalani sama-sama,
Kami memahami ritme masing-masing, saat Anis tidak bisa, disitulah saya dengan otomatis mengisi kekurangan tersebut, dan saat saya kolaps, Anis yang ada disitu menggantikan saya,
Ini saya rasakan banget ketika saya di Lab Neuro, juga saat internship di Lab Bedah, dan berlanjut ke lab-lab seterusnya,
Di mana ada Anis, hampir selalu disitulah saya ada, dengan nama panggilan ‘solmeeeettt!!’ satu sama lain, beberapa teman kami bahkan bilang kami adalah salah satu solmet paling mesra yang pernah ada, ahahahahahaha XD
Yah, maklum lah, karena tidak punya soulgroup, kami jadinya terbiasa berdua kemana-mana,
Saya masih ingat saat saya dan Anis nonton film horror (judulnya ‘Kairo’) saat kami sedang jaga di Lab Psiki,
Di sebelah kamko (kamar koas) kami adalah ruang isolasi untuk pasien yang gege (gaduh gelisah), dan si pasien tersebut memang seharian penuh teriak-teriak,
Kami pun tenggelam dalam film horror itu (maklum film horror dari Jepang itu suerem banget dan dibumbui misteri-misteri gitu), dan berkonsentrasi penuh di depan laptop Anis,
Dan tiba-tiba sang hantu muncul di layar,
Saya dan Anis pun teriak bersamaan (baca: screaming in all way possible),
Dan suasana Lab Psiki langsung hening seketika,
Kami pun berpandangan, “Ih solmet, knapa kamu teriak?!”
“Lha kamu juga teriak!”
“kamu kan teriak duluan!”
“enggak kok! Aku teriak karena kaget kamu teriak!”
“masa sih?! enggak ah!”
“iyaaa!!”
Dan kami pun tertawa ngakak bersama-sama,
Entah siapa yang teriak duluan dan mengapa kami teriak, entahlah, mungkin saya teriak kemudian Anis kaget, atau sebaliknya? Hahahahaha XD
Tapi satu hal penting yang kami sadari segera setelah teriak adalah: suasana di Psiki berlanjut hening,
Termasuk pasien gege tadi langsung diam dan tidak teriak-teriak lagi semalaman sampai pagi :p
Ada satu makna penting di penghujung dunia koas kami,
Yaitu saat wisuda, dimana tempat duduk kami diurutkan menurut IPK kami,
Seakan keajaiban, saya dan Anis duduk sebelahan karena IPK kami cuman beda 0.02,
Solmet kan? Hahahahaha.. solmet sejati banget!!!
Kami pun tertawa ngakak ketika sadar bahwa akhirnya kami masih juga bersama-sama hingga wisuda :’)
Saat Anis pulang ke Malaysia…. …. …. hehe, ah sedih ah yang itu, gak mau cerita!!
*mutung*
Beberapa hari lalu, Anis mengirimi saya message via Facebook, berkata bahwa dia dan Hafizi bakal segera menikah,
Wah, seneng sekali saya denger berita itu, alhamdulillaaahh akhirnya mereka nikah juga,
Saya berharap mudah-mudahan saya bisa datang, mau ngumpulin uang saku dulu, hehehehe :D
Intinya,
Saya bersyukur bertemu dengan Anis, dekat dengan Anis, menjalani waktu bersama Anis,
Saya tidak bisa membayangkan seperti apa jadinya saya (yang sering kena jackpot buruk selama koas) jika solmet saya bukan dia,
Karena tidak bisa saya pungkiri, bahwa saya survive di koas salah satunya adalah karena solmet saya adalah Anis,
Karena dia selalu ada di samping saya, terus menerus selama 2 tahun,
Karena dia ada, saya bisa tersenyum walaupun jadi koas kadang tidak mudah,
She made me smiled,
And she made me stronger,
Maafin saya ya Anis, kalo saya bukan solmet yang baik dan banyak bergantung sama kamu selama koas :’(
Maaf kalo kadang solmetmu ini egois dan suka moro-moro kebablasan tidur waktu jaga :p
Thanks, for being my friend, one of the best friends I’ve ever had,
Wish this bond will last forever :’)
NB: eeehh… kok panjang ya ternyata tulisan saya? f(-__-“)