Ada banyak kemugkinan yang menunggu untuk dicoba,
Dan sejuta alasan yang membantu kita memilih salah satu,
Dan pilihan saya jatuh ke S2
Ada (banyak) orang yang bertanya pada saya tentang hal ini,
Ada (banyak) orang yang heran dengan keputusan saya,
Sebagian yang baik hati akan bertanya ttg alasan saya,
Sebagian lagi akan langsung berkata, "lho, aku kirain kamu bakal ambil spesialis,"
Dan sebagian lagi membuat saya geli dengan berkata, "ngapaiiinnn kamu S2???!! Sayang loh kalo kamu S2 aja! Langsung spesialis aja kek, PTT kek, itu kan lebih cocok buat kamu,"
Dan masih banyak lagi komentar lainnya,
Tidak sekali juga, saya dapat semacam cercaan dari sekitar, mengatakan S2 itu rendah lah, prestigenya ga ada lah, ntar ilmu gak berkembang lah, dan segudang hal yang membuat saya ngakak lainnya,
Keputusan saya ambil S2 memang dirasa mengejutkan oleh banyak orang, walaupun sebenarnya tidak juga sih..
Teman-teman pertama yang tahu tentang saya daftar S2 adalah sesama koas puskesmas Tumpang karena saya beberapa kali ijin ke mereka saat stase puskesmas untuk ngurus berkas pendaftaran ke kampus (trimakasih temaaann ToT)
Pikiran kenapa masuk S2 sebenarnya sudah ada di pikiran sejak saya kecil,
Ya maklum, kakek nenek saya guru, ayah dan pakde pakde paklik bude dan bulik saya juga guru ataupun dosen,
Saya memang dibesarkan di keluarga pengajar, maka bukan hal yang aneh jika saya ingin ke arah yang sama pula,
Saat masih kecil, saya lihat ayah saya sering dapat kue dari mahasiswanya, dan itu mendorong saya yang masih kecil berpikir, "enak ya jadi dosen, bisa dapet jajan,"
Hal itu jg saya utarakan saat tes wawancara, sehingga pewawancara saya tertawa terbahak bahak XD
Jaman seperti sekarang memang memilih untuk S2 adalah hal yang langka,
Saya paham itu,
Tapi tidakkah itu hanya karena sekedar hasil dari sebuah idealisme bahwa doker harus spesialis?
Tidakkah itu adalah hasil dari sebuah dogma bahwa dokter umum tidak akan laku kedepannya nanti?
Munafik rasanya kalau mengatakan bahwa saya tidak pernah punya idealisme seperi itu,
maklum sejak pertama kali masuk kuliah di FK, dosen kami sudah mencekoki kami dengan kata-kata berikut, "kalian nanti harus spesialis, jangan puas hanya dengan menjadi dokter umum,"
Nggak salah juga sih, saya setuju dengan pernyataan diatas,
Tapi, bagaimana bakal bisa ada spesialis kalau pengajar prekliniknya tidak ada?
Saya suka sebuah komentar yang dikemukakan oleh seorang dosen IKM saya yang sekedar berkata hal sederhana namun penuh makna, "jadilah dokter yang plus plus plus,"
Yap, saya pun ingin menjadi dokter yang plus plus plus,
Nah, pertanyaannya adalah:
Apakah menjadi 'plus' itu harus berkecimpung di RS? Harus menjadi spesialiskah?
Bagaimana dengan dokter puskesmas? Tidakkah mereka juga orang-orang hebat karena justru mereka adalah salah satu lini utama terpenting dalam sistem kesehatan nasional?
Bagaimana dengan dokter umum yang juga menjadi direktur perusahaan dan sebagainya? Tidakkah mereka juga hebat?
Lalu mari kita tengok kebelakang pada guru-guru kita selama preklinik, tidakkah mereka juga 'plus plus plus'? Karena ada merekalah kita bisa menjadi seperti sekarang ini,
Bagaimana dengan dokter yang menjadi peneliti? Tidakkah mereka juga hebat? Merekalah yang meletakkan dasar dasar ilmu pengetahuan yang kita punya saat ini,
Terakhir, bagaimana dengan dokter dokter umum yang ada nunjauh disana di pedalaman, berjuang dengan alat seadanya? Menurut saya, walupun mereka "hanya" dokter umum, mereka adalah dokter-dokter yang super sekali..
"ini eranya bukan lagi era dokter umum, sebentar lagi pasar global, semua dokter bisa masuk ke Indonesia, dan dokter-dokter yang biasa-biasa saja bakal tergusur oleh dokter luar, apalagi masyarakat Indonesia yang lebih percaya 'produk luar negeri' daripada lokal"
ini adalah suatu pernyataan yang menarik,
hai kawan, apakah menjadi dokter umum itu artinya selalu menjadi dokter yang "biasa-biasa saja"?
semua itu kembali pada masing-masing dokter,
karena dokter adalah penyedia jasa, maka yang akar pikatan hati adalah kepercayaan pasien pada dokternya,
saya percaya setiap dokter lulusan dalam negeri adalah dokter-dokter profesional, tak peduli itu adalah dokter spesialis maupun dokter umum,
jadi saya optimis bahwa para dokter domestik bisa bertahan dalam terpaan arus globalisasi :)
Saya bukannya ingin mendiskreditkan profesi spesialis,
Tidak pula saya ingin berkata bahwa saya tidak mau jadi spesialis,
Tapi saya ingin membuka cakrawala berpikir kita agar tidak mematok harga mati harus spesialis,
Dunia ini luas teman,
Ada banyak hal yang bisa dieksplor di negeri kita ini,
Dokter masih sangat banyak diperlukan di sangat banyak sektor,
Ada masih banyak kekurangan di negeri ini yang bisa diperbaiki oleh dokter,
Haruskah kita semua para dokter umum menjadi dokter spesialis?
Saya rasa tidak,
Ada banyak jalan untuk menjadi dokter plus plus plus,
temukan tempat dimana kau nyaman berada dan kembangkan minat dan bakatmu semaksimal mungkin :)
Itu baru namanya dokter 'plus plus plus' :)
Mantap mami! Aku suka alasan mami. Semoga nanti anak didik mami bisa jadi dokter plus plus. Amiin..
BalasHapusfor themorningstar: tahukah kmu? topik ini kubawa ke twitter dan lgsg dpt bbrp 'hujatan' :p
BalasHapusfor Sakura21 iya mbak...aku bersyukur bs masuk s2 bareng smuanya, alhamdulillaaaaaahhh...
insyaAllah aku smakin mantep dgn jalanku :)
waw,,s2 dimana? ;)
BalasHapushebat sudah bisa nentuin,, aku blm T_T
alhamdulillah keterima di biomedik retha,
BalasHapusaku seneng disini, sesuai banget sm interestku :D
mau ikut a?
nice article...^-^
BalasHapusgood luck for your choice siwii..
Cara berfikir anti mainstream
BalasHapusTenang dok, nanti tahun 2018 saat MEA, dokter umum akan jadi pintu terdepan untuk semua pasien. Saya sendiri lebih suka jadi dokter umum (saya jg ambil S2 gizi, kenapa? Untuk membantu saya memberikan konsultasi ke pasien). Tapi saya tidak mau jadi dokter umum biasa. Saya mau jadi dokter umum plus plus plus. Jadi saya dalami baik2 ilmu kedokteran. Demi pasien.
BalasHapus