Senin, 23 Juni 2014

Aku, Ibu, dan Juni 2014

Tidak ada yang lebih tidak saya sukai di dunia ini daripada kepercayaan yang dihancurkan.  
Ini adalah cerita spontan yang saya alami pada periode 17 Juni 2014 sampai dengan 23 Juni 2014.


Sudah selesai kah?” tanya ibu saya pagi ini, 23 Juni 2014.
Dengan poker face dan ketap ketip saya menelengkan kepala dan kemudian mengerutkan dahi.
Marahmu, sudah selesai?”
Saya tertawa kecil mendengar ibu saya bertanya demikian, “… yah…
Oke, yuk dibahas,”
Sambil melet, saya pun akhirnya bersedia untuk bicara tentang penyebab kemarahan saya yang memuncak dengan agak kurang ‘wajar’ (kata ibu saya). Beliau berkata demikian karena kemarahan saya sempat bocor di Facebook, sementara selama ini tidak pernah sampai segitunya.
(padahal di twitter kata teman saya semacam rapuh porak poranda alias rapopo alias tidak apa apa)

Kepada ibu, saya bercerita semuanya. Mulai dari mimpi buruk yang saya alami satu setengah bulan yang lalu (yang ternyata definitely adalah pertanda), kemudian ‘Suggestion to Follow’ di Twitter (yang sepertinya fitur ini lebih ‘indigo’ dari kelihatannya :p), sampai dengan telepon yang saya terima pada hari Selasa, 17 Juni 2014 sekitar pukul setengah empat sore.
Saya ceritakan alasan kemarahan saya dengan sejujur-jujurnya. Diatas segalanya, kemarahan saya disebabkan karena bohongnya seorang yang sungguh-sungguh saya percayai. Rasanya sulit bagi saya untuk percaya bahwa kepercayaan saya padanya berujung pada kondisi yang seperti saat ini. Saya akui pada ibu, sebelumnya saya selalu percaya bahwa ia adalah orang yang baik dan honest, sehingga saat saya menemukan hal krusial yang ia belokkan, saya pun marah.
Saya merasa kepercayaan saya dikhianati.
Saya sih tidak terlalu mempermasalahkan soal ending (ya masalah sih, tapi tidak ada apa-apanya dibanding dibohongi selama sebulan lebih), tapi janganlah mengkhianati kepercayaan saya. Pada dasarnya saya berhak tahu sejak awal, tapi entah kenapa, entah bagaimana, ia yang saya percayai, justru bertindak sebaliknya.

Satu sisi yang lain adalah saya marah pada diri saya sendiri karena tidak bisa mempergunakan petunjuk di sekeliling saya dengan benar. I should have known, kata saya berkali-kali pada diri saya sendiri. Seharusnya saya lebih percaya pada logika saya dibandingkan hal lain yang saya rasakan di muka bumi ini.
Ibu saya pun berkomentar, “Tapi logikamu itu kadang membuatmu jadi orang kejam,”
Haha, memang sih, saya kejam. Saya bilang pada ibu bahwa sahabat saya bilang, curse yang saya keluarkan terlalu sadis dan saya harus istigfar.

Saya pun bilang pada ibu, bahwa seorang sahabat saya yang lain bilang seperti ini, “Understandable kok kau marah sampai ke taraf seperti itu. Yah semua bahkan bereaksi sama sepertimu. Aku sih mau-mau aja lempar ban serep (yang saya suruh nambahi bom ala kuciang) ke alamat dia, secara alamatnya deket sama alamatku disini, tapi kamu bukan orang yang bisa sungguh-sungguh berharap keburukan bagi orang lain lho… You will forgive, I know that,”

Plus komentar dari sahabat saya yang lain, “Been there. Damn hurt. Kau emang lagi apes. Let it go lah…

Intinya, semua orang terdekat saya bilang bahwa pada akhirnya saya akan memaafkan, karena biasanya saya tidak tahan memiliki emosi negatif terlalu lama (baca: biasanya sebentar tapi intensitas tinggi, katanya).

Ibu saya pun ngakak mendengar cerita saya. “Terus, kasi tau ibu dong, hikmah apa yang kamu dapat sekarang?
 “Orang Jawa adalah yang terbaik?” adalah komentar pertama saya sambil ketap ketip dan garuk-garuk kepala. Tapi dengan segera saya menambahkan, “Ndak juga sih, semua orang pada dasarnya baik. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa meminta ingin lahir di mana dan ingin orang tua seperti apa. Itu bukan alasan untuk memberi judgement ke orang lain,”
Terus?
Setiap kesalahan itu ya bawaan orangnya sendiri-sendiri. Hidup itu isinya cuma pilihan dan konsekuensi,” kata saya sambil nyengir.
Ibu pun tertawa kecil sambil menambahkan, “Ndak lah… isinya juga bisa usaha,”
Saya mengangguk, “Iya. Paling tidak, dengan percaya sama dia, aku sudah berusaha semampuku. Paling tidak, aku ndak bakalan lebih menyesal daripada kalau aku ndak ngapa-ngapain,”

Ibu ikutan mengangguk, “Terus, apa isi doamu sekarang?”
Semoga kebenaran yang tersembunyi bakal terungkap. Semoga hal-hal yang terbelokkan bakal terluruskan. Semoga yang benar akan tetap benar, dan semoga yang salah diberikan kemudahan,”
Ibu saya agak kaget, “Hah? Kemudahan apa?
Sambil memasang muka serius saya menjawab, “Kemudahan bertemu dengan karma,”
Ya ampun, sudahlah, semakin kamu memberatkan yang sudah lewat, semakin langkahmu terbebani lho nduk,”
Saya menghela napas sambil mencucu, “Habisnya, enak aja dia dengan entengnya bohong gitu. Aku lho disini percaya bahwa dia orang yang baik,”
Maafin saja lah…
Dengan keras kepala saya pun menjawab, “Hah? Enak banget? Dia bohong sebegitu lama dan aku disuruh memaafkan gitu?

Ibu saya menghela napas, “Ya sudah, ndak usah dimaafkan juga gakpapa, tapi…”
Tapi…?
Pernah ndak kamu mikir hal seperti apa yang dia alami disana? Apa alasan dia membohongimu? Kenapa dia harus bohong? Apakah murni keinginannya sendiri?
Saya agak melongo, tapi ibu saya melanjutkan dengan serius.
Kamu tu bukan orang yang bodoh lho. Kamu tahu alasan kenapa kamu percaya dan kenapa kamu tidak percaya. Alasan kepercayaanmu ke dia kurang lebih adalah karena kamu tahu dia orang yang baik kan?
Iya sih, tapi bisa saja itu akal-akalan dia biar aku percaya kan?” protes saya.
Ibu saya mengangguk, “Memang. Tapi gimana kalau dia aslinya memang sebaik yang kamu tahu tapi dia terpaksa bohong sama kamu?
Saya tertawa, “Tetep aja, bohong ya bohong,”
Menurut Ibu sih, pasti ada alasannya, dan Ibu yakin kalau kamu bisa meredakan marahmu, kamu tahu apa yang Ibu maksud... Kadang-kadang ya nduk, ada kebenaran yang memang tidak akan pernah terungkap. Bukan karena itu bukan kebenaran, tapi itu hanya sekedar jalan untuk kebenaran lain yang lebih besar,”
Dengan keras kepala saya protes lagi, “Tapi aku masih marah,”
Iya keliatan jelas kok (dan saya nyengir waktu ibu bilang ini). Tapi seperti yang dibilang temen-temenmu, kamu bakal memaafkan, entah kapan. Kayaknya sih ndak lama, eh ya ndak tau sih, kamu tu kadang aneh dan ndak bisa ditebak (aih… ini ibu saya yang bilang lho). Yah, apapun lah, mau kamu tetep marah atau mau maafin pun, yang jelas, yang sudah selesai ya sudah, ndak bisa kamu bawa kemana-mana lagi. Ibu yakin, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan kedepan,”

Setelah diam mencerna kata-kata ibu, saya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan keluar. Dua pertiga amarah saya menguap saat saya berbincang dengan ibu saya (walaupun saya mungkin tidak mengakui sih ke ibu).

Semoga yang benar akan terungkap. Semoga yang benar akan dimunculkan. Semoga yang salah-salah akan tenggelam dengan cara yang damai. Semoga semua hal benar yang terbelokkan akan terluruskan kembali dan dunia akan paham apa yang sebenarnya terjadi.

Saya sih ndak mau berubah, akan tetap all out dalam segalanya. Saya sudah belajar sejak bertahun-tahun silam bahwa menyesal karena gagal masih selalu lebih baik daripada menyesal karena tidak melakukan apa-apa.

the mementos of 'don't be angry' and 'we are here by your side'

(ditulis sambil reminiscence tentang hal yang saya alami sejak Maret hingga Juni 2014 sambil ditemani lagu instrumental favorit saya FALLING DOWN (by Shoji Meguro). Kemudian buru-buru mandi dan berangkat ngampus :p)

Kamis, 19 Juni 2014

Pikiran yang Terdalam

In my deepest thought.

I could kill someone with this anger.
But no, I will not let you die that easily.
It would be better if you lost your will.
You will not die, but inside, you die literally.

I could kill someone with this anger.
But no, I will not let you suffer that instant.
It would be better if you lost your happiness.
You will not die, but inside, you suffer endlessly.

I could kill someone with this anger.
But no, I will not let you smile on your death.
It would be better if you lost your precious.
You will not die, but inside, you cry in loneliness.

I could kill someone with this anger.
But no, I will not let you enjoy your last breath.
It would be better if you lost your nerves.
You will not die, but inside, you breathe in difficulty.

I could kill someone with this anger.
But no, I will not let you feel forgiven.
It would be better if you lost your sanity.
You will not die, but inside, you lost your insight.

I could kill someone with this anger.
But no, I will not let you die easily.
It would be better if you lost in the dark.
You will not die, but inside, you rot and blind.

I could kill someone with this anger.
But no, I will not kill anyone.
Angels around me said I could not do that.
It will only lessen my level to yours.

I could kill someone with this anger.
But no, I will not dirt my hands.
Angels around me stated our difference.
I will not kill someone like you once did, literally.

I could kill someone with this anger.
But no, I will not see any blood.
Angels around me showed the lives I have to protect.
I live to protect and never to abandon.

I could kill someone with this anger.
But no, I will not kill you.
You are not worthy even a second to be killed by me.

So let life do its turn and kill you itself the way it wants.